Terapi Kesehatan

Terapi Kesehatan

Panggil saja nama saya Ivan, seorang wanita. Umur kepala 2. Tinggal di Jakarta dan masih kuliah di salah satu PTS. Dari penampakan luar saya termasuk orang yang biasa saja seperti orang lain. Wajah tidak cantik, juga tidak jelek. Body proporsional. Satu kekurangan saya yang saya akui, yaitu sangat takut untuk mengenal cowok, dan sampai membayangkan untuk menikah. Apalagi untuk mengenal urusan seks. Ini disebabkan pengalaman kecilku dulu yang akibatnya sampai sekarang masih membekas.

Sebagai latar belakang, ada baiknya saya menceritakan sedikit pengalaman itu. Pada waktu masih balita, saya masih tidur satu kamar dengan ke dua orangtua saya, meskipun tidak satu ranjang. Pada suatu malam, selagi tidur saya terbangun mendengar rintihan Mama diselingi oleh bentakan Papa. Mama tampaknya seperti sedang disiksa oleh Papa. Mama ditindih dan dipukul oleh Papa, sehingga Mama nampak sangat kesakitan dan menderita. Semua kejadian itu kuperhatikan tanpa kedua orangtuaku mengetahuinya. Memang tidak terlalu jelas apa yang Papa perbuat terhadap Mama, karena ruangannya remang-remang. Kejadian itu sering terulang lagi, dan aku tidak pernah berani menanyakan kepada Mama atau Papa. Maklum kedua orangtuaku termasuk agak galak, jadi saya juga agak kurang berkomunikasi dengan mereka.

Setelah menginjak remaja, baru saya mengerti itu adalah hubungan seks. Tapi meskipun itu sudah saya sadari, tapi bawah sadar saya tidak dapat melupakan rintihan dan erangan Mama serta tindakan Papa yang kasar menindih dan menekan-nekan (memompa) Mama. Mama pasti kesakitan ditindih Papa yang tinggi besar itu. Seks tampak sangat menyakitkan dan membuat perempuan menderita. Saya pun tidak bisa mengerti kalau teman-temanku bercerita tentang kencan dengan cowok mereka. Di mana nikmatnya berciuman, diobok-obok, petting, masturbasi dan lain sebagainya. Bagiku seks adalah penderitaan titik. Kalau ada cowok yang mau melakukan pendekatan, selalu saya menghindar secara halus dengan memberi alasan, bahwa saya ingin berkarier dulu baru pacaran dan menikah. Sikap ini membuat banyak temanku mencapku sebagai kolot dan kampungan. Kadang memang itu membuatku menjadi sedih. Pernah saya mencoba juga untuk masturbasi dengan mempermainkan liang kemaluan saya sendiri. Dengan berbaring di ranjang hanya mengenakan daster, tanpa bra dan CD, saya mengangkangkan kedua paha. Sambil membayangkan seorang cowok, saya mulai mencoba menggosok liang kemaluan dan klitorisku. Saya membayangkan bahwa yang melakukan itu seorang cowok yang akan menjadi suamiku. Kuremas-remas payudaraku dengan perlahan. Tapi tidak ada reaksi apa-apa. Tetap saja aku tidak bisa terangsang. Kalau bagi orang lain, dengan memainkan klitoris bisa menyebabkan banjir, bagiku tetap saja kering. Akhirnya kusadari inilah yang dinamakan frigid.

Keadaan agak mulai berubah setelah saya mulai kuliah. Di kampus saya mempunyai seorang teman akrab. Sebut saja namanya Ria. Ria seorang yang supel dan pandai bergaul. Wajah dan bodinya tidak mengecewakan. Kulit putih. Keluwesannya dalam bergaul, terkadang bisa membuatku geleng-geleng kepala. Teman cowok dan ceweknya sama banyaknya. Awalnya aku berpikir, dengan kesupelannya bergaul dan melihat cara pandangnya yang bebas, pasti Ria ini sudah melepas keperawanannya. Tapi ternyata aku salah. Menurut pengakuannya dia masih perawan. Entahlah, yang tahu pasti hanyalah dia sendiri.

Seiring dengan berjalannya waktu, hubunganku dengan Ria semakin akrab dan kami dapat saling curhat. Setelah Ria mengetahui aku frigid, dia berusaha juga untuk mencari jalan keluarnya. Dia menanyakan selain melihat hubungan seks yang dilakukan kedua orangtuaku, apa saya juga pernah menonton BF atau lihat gambat porno? Pernah jawabku, tapi tetap tidak bisa membuatku birahi. Bagaimana kalau ke psikolog atau psikiater, usulnya. Ah.. pasti hanya buang-buang waktu saja jawabku. Di sana pasti kita disuruh curhat, dan akhirnya kita dikuliahin ini itu, hasilnya belum tentu. Malas ah.. .

Pernah sekali waktu, Ria mengujiku. Kalau saya tidak tertarik dengan cowok jangan-jangan Ivan ini lesbi. Maka tanpa ba-bi-bu lagi, suatu malam di kamarku, Ria tiba-tiba menciumku dan meraba-raba payudaraku. Dengan kaget kudorong tubuhnya.
“Apa-apaan ini Ria?” teriakku.
Sambil tertawa dia menjawab,
“Enggak apa-apa cuma ingin tahu aja siapa tahu kamu ini lesbian tanpa kamu sadari sendiri”, katanya ringan.
Hasilnya ternyata aku pun bukan lesbi. Betul-betul total frigid 100%. Bayang-bayang ketakutan erangan dan rintihan Mama memang menghantuiku, biarpun sudah mendapat penjelasan itu bukan kesakitan tapi erangan kenikmatan.

Suatu hari Ria menelponku,
“Kamu mau diterapi enggak?”
“Terapi apaan?” tanyaku.
“Ituu.. terapi frigid kamu..”
“Konsultasi ke psikolog, maksud kamu.. Kan dari dulu aku sudah bilang, hanya buang waktu dan biaya aja, hasilnya belum tentu.”
“Aku baru dapat informasi dari temanku, ada orang yang mungkin bisa ngebantu kamu. Katanya sih manjur juga. Sudah banyak orang yang ditolongnya. Yang jelas orangnya dapat dipercaya, terapinya alami saja tergantung keluhan, tapi masalahnya dia seorang cowok. Yaa.. umur kepala 4 deh kira-kira. kamu coba dehh, orang kan harus usaha kalau mau sembuh.”
“Paranormal yaa?” tanyaku ragu.
“Bukan sih, tapi semacam sexolog gitu, tapi bukan dokter. Udah nih kamu sekarang ambil pena dan kertas. Catat nih emailnya. kamu enggak usah ketemu muka dulu, konsul aja dulu jarak jauh.”
Konsul jarak jauh, apa susahnya? kalau tidak berhasil, juga tidak perlu terlalu disesali, pikirku.

Kontak pertama, aku mengenalkan diriku dan mengetahui emailnya dari orang yang pernah dibantunya sambil basa basi sedikit. Kuceritakan kalau aku frigid dan mungkin bisa membantu saya. Sama seperti psikolog, maka Erwin (sexolog) memintaku untuk bercerita mengenai diriku sedetail mungkin. Dari beberapa kali konsul lewat email, akhirnya Erwin menyimpulkan bahwa saya harus diterapi untuk menemukan titik-titik rangsang serta memperpeka saraf seks yang ada. Tentu saja terapi ini tidak bisa lewat email. Aku pun lantas menceritakan ini pada Ria.
“Eh.. Ria.. aku mau diterapi, dicari titik rangsangku oleh erwin. Aku takut nanti, malah entar diperkosa.”
“Udah deh.. kamu janjian aja sama dia kapan, entar aku temanin. kamu itu mau sembuh enggak sih, lagian temanku udah bilang kalau orangnya sangat bisa dipercaya. Kalau ada apa-apa sama kamu, entar kita minta tanggung jawab aja sama temanku. Lagian masak sih dia mau menjerumuskan kamu..”
Setelah berpikir pergi pulang, aku pun memutuskan untuk menjalankan terapi itu, apapun resikonya.

Kami pun lantas bertemu di suatu hotel di Jakarta Barat tanpa ditemani oleh Ria, karena terkadang aku malu, karena dia sudah membantuku terlalu banyak. Masa sekarang aku minta ditemani lagi. Pada pertemuan pertama itu, kesanku adalah, Erwin orangnya cukup ganteng, gentle dan tidak terlalu banyak omong. Hanya seperlunya saja tapi mengena. Rambutnya sedikit agak memutih dan dugaanku dia baru berumur dengan kepala 3. Entahlah aku tak berani menanyakan secara langsung.

Sesampai di kamar, Erwin menanyakan apa aku tidak lupa membawa baby oil atau hand body serta handuk. “Komplit”, jawabku agak sedikit gemetar. Ini adalah saat pertamaku berdua sekamar dengan cowok. Terbayang kembali traumaku sewaktu masih kecil. Erwin yang tahu kalau aku sedikit nerves, mencoba mencairkan suasana dengan menyuruhku mandi dulu dengan air hangat. Memang setelah mandi, aku merasa segar dan lebih percaya diri.
“Sudah segar nih kelihatannya”, katanya sambil tersenyum.
“Iya.. lumayan deh”, jawabku.
“Sudah bisa dimulai nih terapinya?” tanya si Erwin.
“Oke..”
“Ivan boleh tetap memakai baju lengkap, boleh juga melepas sebagian atau boleh juga melepas semua dan nanti ditutup handuk. Ivan pilih saja yang menurut Ivan yang paling bisa membuat rileks. Sekali lagi rilek, santai dan tidak tegang. Itu key-word yang utama”, Erwin menjelaskan itu dengan tenang sekali, layaknya seorang terapist tulen yang sudah profesional.
“Begini aja deh”, jawabku sambil memandang tubuhku sendiri yang dibalut dengan T-shirt dan celana panjang berbahan tipis.
Terus terang aku tak sanggup melepaskan sebagian dari pakaianku di hadapan orang yang baru saja ketemu muka. Kalau ada apa-apa aku bisa langsung kabur, pikirku.

“Ya.. sekarang Ivan berbaring telungkup di ranjang. Kita mulai saja.”
Dengan tubuh yang tertelungkup di ranjang, Erwin mulai memijat kepala saya dengan lembut. Mungkin sekitar 5 menit dan itu cukup membuatku rileks. Erwin yang tahu kalau aku sudah tidak tegang lagi, mulai menurunkan tangannya ke leherku. Tangannya mulai membelai dengan halus dan lembut diselingi sesekali dengan pijatan. Inilah pertama kulitku disentuh dan dibelai oleh seorang cowok. Aku merasa enak dengan sentuhannya.
“Boleh aku di atas kamu?” tiba tiba Erwin bertanya.
“Maksudnya..?” tanyaku curiga.
“Ini.. aku mau mulai dari daerah punggung, jadi lebih nyaman kalau aku ada di atas kamu”, jawabnya.
“silakan..”
Dengan menempatkan dengkulnya di kiri kanan pinggulku, Erwin mulai membelai pundakku, diusapnya dengan perlahan.
“Ivan, kalau pas dibelai dan disentuh kamu merasa enak, kamu harus katakan itu. Tidak usah malu. Terapi kali ini memang untuk mencari titik rangsang kamu. Kamu tidak usah malu mengekspresikan kenikmatan itu. Kamu boleh mengerang, boleh merintih, boleh teriak, boleh menggelinjang. Tidak ada yang melarang. Malah itu harus!”

Erwin terus membelai dan mengelus dan terkadang memijat dengan lembut seluruh punggungku yang masih dibalut T-shirt. Tangannya bekerja dan mulutnya memberikan sugesti padaku, seolah-olah apa yang terjadi pada mamaku itu bukanlah suatu penderitaan, tapi kenikmatan. Ketika tangannya memijat lembut sambil sedikit memutar kedua payudaraku dari samping, aku menggelinjang keenakan biarpun masih dihalangi oleh T-shirt dan bra-ku. Sepertinya ada sedikit kejutan listrik. Yang membuatku tidak mengerti adalah, selangkangannya tidak pernah menyentuh pinggulku. Meskipun kesempatan itu sangat besar. Nampaknya Erwin memang tidak mau mengambil kesempatan itu untuk kesenangan pribadinya. Betul-betul seorang sexolog dan seorang terapist tulen pikirku dalam hati.

Dengan memundurkan pinggulnya ke betisku, Erwin mulai dengan pijatan dan belaiannya pada pinggulku. Dengan gerakan memutar, pijatan pada pinggulku ini lebih menimbulkan rasa enak lagi. Di titik inilah aku mulai merasakan badanku sedikit hangat, dan ada sedikit rasa gatal di kemaluanku. Apa ini yang disebut orang birahi? Sekarang kedua kakiku agak mengangkang karena kedua dengkul Erwin ada di antara kakiku. Gerakan jarinya sekarang agak lebih bertenaga. Mungkin karena pinggul terdiri dari banyak daging, maka harus lebih bertenaga, baru terasa. Apalagi pada saat kedua tangannya memijat secara memutar itu disusul dengan kedua ibu jarinya yang sedikit menekan anus. “Enak Win”, desisku tanpa sadar.

Belaian dan pijatan pada pahaku pun menimbulkan rasa enak. Sekali-sekali tangannya menyentuh kemaluanku. Ini membuatku gila dan setiap kali tangannya merogoh ke bawah ke arah kemaluanku, spontan aku mengangkat pinggulku dan kesempatan itu semakin dimanfaatkan Erwin untuk meremas dan mengobok-obok. Yaa.. aku mulai merasakan nikmatnya alat vitalku disentuh. Pada sesi ini aku banyak merintih dan mengerang serta berulang kali mengatakan “Enak Win, enaakk..” Kalau dilihat, rona mukaku mungkin berubah merah. Ada rasa malu menyergap tatkala tubuhku disentuh laki-laki yang relatif baru kukenal. Apalagi kemaluanku tak luput dari sentuhan, biarpun masih ada pelapisnya. Entah berapa lama dia melakukannya, aku betul-betul serasa sudah melayang tanpa sadar berada di mana. Dari situ pijatannya kembali turun ke arah betis dan telapak kaki. Tetapi dari betis ke bawah tidak menimbulkan sensasi apapun padaku.

Setelah selesai sampai pada telapak kaki, Erwin menyuruhku membalik badan dan mengatakan, untuk sesi pertama ini sudah selesai. Dengan nada yang serius, Erwin menyuruhku ke kamar mandi untuk melihat, apakah di sekitar kemaluanku keluar cairan atau agak lembab. Pada sesi pertama terapi ini, kami diskusikan bersama. Dimana letak titik nikmat dari tubuhku. Dan ketika kukatakan, bahwa memang kemaluanku biarpun tidak banjir, memang agak sedikit lembab. Erwin memberi kesimpulan, ada harapan besar bagi aku untuk sembuh dari frigid-ku.

Aku diberi kebebasan apa akan melanjutkan terapi sesi kedua atau tidak.
“Sekarang sudah dulu yaa.. Van. Kamu renungkan dalam 1 minggu ini, apa ada kemajuan atau tidak. Mau dilanjutkan dengan sesi kedua atau tidak. Kalau Ivan mau melanjutkan pada sesi kedua, nanti bisa email Erwin dulu. Sesi kedua nanti, kita akan tingkatkan intensitas rangsangan itu. Kita coba buang trauma yang masih melekat di otakmu.”

Sejak menjalani terapi itu, aku masih suka membayangkan pijatan dan belaian Erwin. Aku sudah bisa menikmati belaian tangan lelaki. Erwin memang dapat dipercaya, karena selama berdua di kamar, hanya tangan dan dengkulnya saja yang pernah menyentuh tubuhku. Itupun masih dengan dilapisi pakaian.,,,,,,,,,,,,,,,,

Related posts