Surat Cinta Anak Sma | Sang Pakar

SLOT GACOR SLOT GACOR

Semilir angin menyapu wajahnya ketika dia
duduk di pinggir danau sambil membaca surat yang terselip di tasnya
tadi siang. Dibaca berkali-kali kalimat yang tertera di situ:

AKU CINTA KAMU..! Temui aku di pinggir danau sepulang sekolah.
Chopin

“Akhirnya
kamu berani juga Ryan! Telah lama aku menunggu kata-kata cinta darimu.
Tadi begitu pelajaran selesai, aku segera berlari ke danau ini secepat
mungkin,” gumannya lirih. Chopin adalah nama panggilannya untuk Ryan.
Dina
dengan sabar menunggu bayangan Ryan datang dan membisikkan kalimat yang
sama dengan surat yang dipegangnya. Dia terus menunggu sampai akhirnya
malam menyelimuti senja. Tak ada tawa yang diharapkannya, hanya tetesan
air mata jatuh di pipi mengiringi langkahnya pulang ke rumah.
“Ryan, apa maksud dari semua ini?” lirih Dina berkata.
“Mengapa kamu mempermainkan aku?”
Sepasang
mata yang mengawasi gerak Dina dari tadi lalu menerawang memandang
bintang yang mulai muncul di langit. Dari mulutnya terucap, “Dina
maafkan aku…!”

1995,
Bandung, (Dua minggu menjelang pernikahan)

“Belok kiriii…!”
Dewa pun membelokkan stang motornya menyibak genangan air di jalan mengikuti petunjuk temannya.
“Emang kapan?” teriak Dewa agar suaranya terdengar.
“2 minggu lagi.”
“Jauh amat nyetak undangannya?”
“Muraaahh…!”
Tangan
Dina erat memeluk pinggang Dewa saat motor mereka menelusuri jalan
sempit itu, lalu menepuk-nepuk pundaknya sesaat sebelum mereka melintas
di depan sebuah percetakan.
“Makasih Wa. Aku nanti dijemput Toni.”
Dilambaikan
tangannya saat Dewa memutar motor dan kemudian melaju kencang
meninggalkan dirinya. “Anjing, goblok! Akhirnya mau juga dinikahi
Toni,” maki Dewa sambil terus memacu motornya.

Jakarta, di hari yang sama

Ryan terlentang di atas peraduan tanpa selembar benang pun menutup tubuhnya.
“Kamu diam saja!” wanita di depannya berkata.
Disibakkan roknya ke atas, diturunkan celana dalamnya.
“Ingat ini yang ketiga kali.”
Lalu
dia berjongkok di atas kemaluan Ryan dan mulai menurunkan pinggulnya.
Pelan-pelan Ryan merasakan batang kemaluannya menerobos masuk ke dalam
bibir kemaluan wanita itu.
“Bidadariku Dina.. Kau sungguh cantik,” lirih Ryan berkata.
“Terserah
kau mau anggap aku bidadari, yang penting kamu bayar aku tiga kali
lipat,” kata sang wanita tetap menaik-turunkan pinggulnya.
Batang
kemaluan Ryan keluar masuk menyapu dinding lubang kemaluan, kegusaran
hatinya tenggelam dalam lenguhan nikmat menahan remasan di batang
kemaluannya.
Cinta sering membawa manusia dalam penderitaan yang
tak bertepi. Menorehkan luka yang sangat dalam tak terobati. Memang
cinta tak selalu memiliki, tapi adakah insan manusia yang sanggup
menghadapi kenyataan saat dia kehilangan cintanya. Ryan merasakan
desakan di dalam batang kemaluannya. Sekujur batang kemaluannya seperti
dihisap-hisap. Ini yang ketiga kali dia akan merasakan orgasme malam
itu. “Akhh..!” katanya saat menyemburkan air maninya ke dalam rongga
lubang kemaluan wanita di atasnya. Diciumnya bibir sang wanita, lirih
dia berkata,
“Aku cinta kamu.. wahai bidadariku..!”
“Kau pria terbodoh yang pernah kutemui,” sahut sang wanita sambil mencabut batang kemaluan Ryan dari dalam lubang kemaluannya.

Bandung, (Seminggu Menjelang Pernikahan)

“Uuhh..!
Susah sekali membukanya,” Dewa mencongkel daun jendela di depannya.
Mengendap dalam keremangan ruang yang telah dimasukinya dia berjalan
sambil meraba. “Semoga ini kamar yang tepat.” Matanya menatap geliat
sebuah tubuh telanjang dengan selimut yang tersibak sedang terbaring.
Dewa menyunggingkan bibirnya senang. Didekati tubuh tersebut, digigit
lembut daun telinganya sambil berbisik, “Aku benar-benar mencintaimu.”
Dicium lembut bibir si gadis, tangannya menyusup di antara selimut yang
sedikit menutupi. putri77.com Dicarinya payudara si gadis, diraba dan diremas. Si
gadis hanya melenguh pendek lalu diam lagi. Dipagut bibir tipis si
gadis, tangannya memainkan payudaranya sambil sesekali memilin
putingnya. Si gadis lalu mendesah dan terjaga,
“Dewa…”
“Ssshh… nikmati saja,” bisik Dewa di telinga si gadis.
Dewa
lalu membuka resleting celana dan mengeluarkan batang kemaluannya.
Direntangkan paha si gadis dan menempelkan kepala batang kemaluannya di
bibir kemaluannya. Si gadis melenguh kecil dan menarik pinggulnya. Dewa
membenamkan hidungnya di rambut si gadis, menciumi aroma segarnya,
menaik-turunkan tangannya, menggesekkan batang kemaluan di bibir lubang
kemaluan sang gadis. Telapak tangan satunya meremas dan memijat
payudara si gadis, membuat si gadis terengah-engah dalam kenikmatan
yang diberikannya.
Dewa mendesis dan tertawa sinis melihat si
gadis menyukai perbuatannya. Dewa lebih bahagia saat si gadis menjerit
kecil ketika ujung batang kemaluannya menusuk lubang kemaluannya. Dewa
merasakan kegundahan tubuh di depannya di antara harga diri atau
perasaan nikmat yang ada. Si gadis berusaha mendorong tubuh di atasnya.
Dewa menangkap kedua pergelangan tangan si gadis dengan kedua
tangannya. “Ssshhhtt.. Aku cinta kamu..!” bisik Dewa lalu mencium bibir
si gadis. Tak lama tangan sang gadis melemas, dan membalas ciuman dan
balik melumat bibirnya. Digerakkan terus pinggulnya. Batang kemaluannya
keluar-masuk di bibir kemaluan teman dekatnya itu. Dewa berhenti
setelah memancarkan spermanya dalam rongga lubang kemaluan si gadis.
Dilihat jam sudah menunjukkan pukul empat pagi. “Anggap saja itu hadiah
perkawinanmu,” bisiknya. Dewa bangkit dari tempat tidur, mengambil
bajunya, mengenakannya, dan mengecup bibir Dina dari pinggir tempat
tidur sebelum melangkah menuju jendela. “Aku cinta padamu! Kau saja
yang tak pernah mengerti..!” meloncat dia dari jendela lalu bayangannya
menghilang di kegelapan malam.

Jakarta, di hari yang sama

“Tapi dia tak mencintaiku,” cairan sperma masih melekat di ujung batang kemaluannya.
Di sebelahnya sang wanita menjepitkan tangan Ryan di antara pangkal pahanya.
“Jika
memang dia mencintaiku, pastilah ada sebuah jawaban mengapa dia tak
menemuiku,” ditatap wanita yang sangat mirip dengan gadis yang
dicintainya sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Cinta tidaklah
seindah yang orang bilang. Jika begitu, kenapa aku merasakan sesak
tenggelam di lautannya,” dimatikan rokoknya lalu dia mengusap rambut
sang wanita.
“Tubuh hampa tak berjiwa, dan kurasa gunung menekan di
atasku dan kerikil tajam di kakiku, sedangkan dia… kudengar dia akan
menikah,” keluhnya lagi.
“Hai bidadariku! Kenapa kau diam saja?” tanya Ryan sambil mencium sekilas dagu sang wanita.
“Entahlah Yan! Aku ngantuk,” jawabnya.
Lalu Ryan mencium bibir sang wanita, dan mengusap lubang kemaluannya. Mereka bercinta sekali lagi malam itu.

Bandung, (Malam Pertama di Hari Pernikahan)

Dina
merintih pelan ketika bibir Toni menyentuh dan menghisap lembut bibir
lubang kemaluannya, badannya menggelinjang di atas kasur yang mulai
basah oleh keringat. Toni memainkan jemari di atas payudaranya,
membelainya, meremasnya, dan sesekali memilin puting susunya. Erangan
dan keluhan keluar dari bibir Dina ketika lidah itu memasuki dan
membelai dinding-dinding lubang kemaluannya. Tangannya terangkat dan
meremas rambut Toni.
Toni menaikkan badannya, memegang batang
kemaluan dengan tangan kanannya, menyentuhkan ujung batang kemaluannya
menyibak bibir lubang kemaluan memburu kehangatannya. Dina menjerit
lirih ketika ujung batang kemaluan Toni menusuk dan berusaha membuka
jepitan liang kemaluannya. Erang kesakitan keluar dari bibir Dina saat
batang kemaluan Toni berhasil menerobos, mengisi liang kemaluannya.
Toni memejamkan matanya menikmati remasan di batang kemaluan,
menggerakkan pinggulnya semakin cepat.
Toni tanpa henti
menelusupkan batang kemaluannya dalam jepitan lubang kemaluan Dina,
sampai dirasanya otot pinggulnya mengeras dan nikmat yang luar biasa
diseluruh syaraf tubuhnya. Mata Toni terpejam, mulutnya mengeluarkan
desahan penuh kenikmatan. Disemprotkannya sperma di dalam lubang
kemaluan Dina. Dina merasakan semburan cairan hangat di lubang
kemaluannya. Tak lama terasa beban yang menindih dada saat Toni
merebahkan kepalanya di permukaan kulit payudaranya. Sambil merasakan
detak jantung Dina di telinga, Toni berkata,
“Kapan Na?”
“Aku tidak mengerti Ton..!”
“Pertama kali kau menghilangkannya?”
“Apa maksudmu?”
“Perawanmu?”
Dina
terhenyak mengetahui maksud suaminya. Setelah semua keindahan yang baru
saja mereka lalui di malam pertama. Mengapa hal itu masih
dipertanyakan. Tak terasa, air mata menetes di pipinya. Dia merasa Toni
hanya menginginkan kegadisannya lebih daripada dirinya.
“Seminggu yang lalu Ton,” lirih Dina menjawab.
“Siapa?” terdengar suara Toni menahan emosi.
“Sama Dewa,” air mata Dina mulai deras mengalir.
“Sudah kuduga,” sambil berkata Toni berdiri.
“Kau duga? tapi Ton… Aku..” tak sempat Dina menyelesaikan perkataannya.
Toni
memegang tangan Dina dengan kasar dan menarik gadis itu berdiri, Dina
melihat tatapan penuh kebencian bercampur dengan air mata di pelupuk
mata suaminya. Toni membalikkan tubuh Dina, menjambak rambut gadis itu,
menekan punggungnya sampai setengah telungkup di atas kasur.Toni
meletakkan tangannya di atas payudara Dina, meremas kasar dan
menancapkan kukunya di situ. Dina merasakan kepiluan dalam dirinya,
inikah konsekuensi yang harus diterimanya sebagai istri jika tidak
menyerahkan kegadisan pada suami?
“Dasar pembohong. Tampangmu
saja lugu…!” kata Toni mengingat sangkalan Dina saat ditanya apakah
dia mencintai Dewa. “Katanya kamu mau diinginin hanya dengan suamimu.”
Toni terus memaki sambil tetap menjambak rambut Dina. Toni menyusupkan
jemarinya ke atas lubang kemaluan Dina, meremas dan menggesek, membuat
Dina meringis menahan rasa sakitnya. Dina lalu menjerit kesakitan saat
jemari itu menusuk dan mengoyak kemaluannya dengan lebih keras
berkali-kali.
Toni mengeluarkan kejantanannya. Tangan kanannya
menggenggam batang kemaluannya, dihujamkan batang kemaluannya sekuat
tenaga ke liang kemaluan Dina. Dina membenamkan mulutnya ke kasur,
menjerit sekuatnya, lubang kemaluannya seakan ditusuk oleh pisau tajam
yang merobek otot-otot kemaluannya. Toni mengerang merasakan kesempitan
liang kemaluan Dina, dan mendesis saat menggerakkan pinggulnya dengan
kasar. Dina merasakan kenyerian yang amat sangat, air matanya
membanjiri kasur, gadis itu mencengkram sprei kasur sekuat tenaga.
Sedangkan Toni menggerakkan pinggulnya semakin cepat.
“Aku tahu kau memang mencintainya…!”
“Mencintai?” tanya Dina dalam hati.
Pilu mengiris hatinya menerima perlakuan dan perkataan Toni.
Toni
mengerang dan menekan batang kemaluannya dalam-dalam ke rongga lubang
kemaluan Dina. Toni orgasme. Dia menekan pantatnya agak lama di sana,
merasakan jepitan otot lubang kemaluan Dina saat dia menyemburkan
spermanya.
“Aku harap kau tidak bertemu dia lagi..!” sambil berkata
dipukul kepalan tangannya ke belakang kepala Dina. Setelah itu Toni
menarik keluar batang kemaluannya dan pergi tidur. Dina menangis
semalaman dalam sakit dan pedih di hatinya.

Bersambung ke bagian 02

2010

Kalianda, (Masa-masa SMA)

Rumput
sekolah belum mengering ketika Dewa mendengar bel tanda istirahat
berdering. Matanya lalu melirik gadis cantik yang duduk sebangku
dengannya sejak kelas 1. Bergetar hatinya tiap melihat lesung pipit dan
manis senyum teman dekatnya itu. Dewa hanya bisa menekan rasa cintanya
terbenam jauh ke lubuk hati terdalam. Dewa tak mau si gadis menjauh
jika dia mengetahui perasaannya. Selain itu Dewa juga sadar pelabuhan
hati si gadis hanya Ryan, kakak kelas mereka. Si gadis sering bilang
begitu padanya. Katanya Ryan juga suka padanya, hanya Ryan masih malu
mengatakan.
Si gadis berdiri dari bangkunya lalu berjalan
meninggalkan kelas menuju kantin. Mata Dewa terus mengikuti gerak tubuh
yang kadang terguncang tertawa berderai bersama temannya. Tiba-tiba dia
berbalik dan berteriak, “Dewaaaa..! Ayuk ikut ke kantin!” katanya
sambil melambaikan tangan. Dewa pun beringsut mengangkat pantat,
dilangkahkan kakinya menuju Dina. Hanya sesaat setelah mereka pergi,
sebuah tangan dengan cepat memasukkan surat ke dalam tas Dina. Lalu
melangkah pergi meninggalkan sebuah surat untuk Dina. Sebuah surat
cinta!

2015
Bandung, (Dua Minggu Menjelang Pernikahan)

“Hallo Tuan Putri! Jadi kita kebut-kebutan?”
Dina
tersenyum ketika Dewa sudah menunggu di pintu kerjanya tepat waktu.
Sahabat setianya itu memang benar-benar baik. Kali ini kesediaannya
mengantar Dina ke percetakan sangat membantu. Dia harus segera mencetak
undangan pernikahannya. Toni sendiri sedang sibuk mengawasi proyek
sampai nanti sore. Beriringan mereka mengayunkan langkah sampai di
pelataran parkir gedung.
“Berhasilkah kau mengikis keresahan
tentang pernikahanmu? Bagaimana dengan Ryan?” kata Dewa menjentikkan
rokok yang terselip di jarinya. Dipicingkan matanya memandang pantulan
cahaya matahari dari dinding kaca kantor. Dewa berharap ada keraguan
dalam nada bicara Dina. “Entahlah! Sayup terdengar hatiku berbisik.
Pelan sekali. Aku sendiri tidak bisa mendengarnya,” mereka lalu terdiam
sambil melangkah menuju tempat parkir. “Itu sabuk kamu lepas!” kata
Dina melihat sabuk Dewa yang copot. Tangannya meraih sabuk Dewa dan
mengikatkannya. Ditepis debu yang melekat di baju dan rambut Dewa. Lalu
tangannya mengaitkan kancing atas kemeja Dewa yang terbuka. “Aduuhh!
Gantengnya anak mama!” kata Dina. Tawa pun berderai dari bibir mereka.
Dewa tahu Dina bercanda.
Dewa menaiki dan menstater motornya. Di
antara bising suara motornya dan asap knalpot, Dina mendekap perut
sahabatnya. Merasakan dekapan itu Dewa jadi cemburu kepada Toni, semua
cinta di hatinya telah diberikan, dia bahkan bersedia melakukan apa
saja untuk Dina. Sejak SMA sampai sekarang dialah yang selalu menemani
Dina dalam suka dan duka. Tapi kini… dia harus menyaksikan orang yang
sangat dicintainya itu menikah dengan orang lain. Dewa benar-benar
cemburu terhadap Toni.
Tak jauh dari tempat mereka berada,
sebuah sorot mata mengamati mereka ditemani percik curiga di hati.
Tenggelam dirinya dalam prasangka tak terjawab. Toni tersenyum miris
menahan kepedihan dalam hati saat Dewa dan Dina menghilang dalam
rapatnya debu asap kendaraan. “Sudah kuduga,” katanya.

Bandung, (Satu Minggu Menjelang Pernikahan)

Dina
terhenyak dari mimpi ketika dirasakan seseorang lelaki sedang mencumbu
tubuhnya. Apakah ini Toni? Tapi… mungkinkah dia senekat ini?
Dibesarkan matanya agar mampu melihat dalam remangnya kamar.
“Dewa…?” kaget Dina memandang wajah sahabatnya.
“Ssshh.. nikmati saja,” bisik Dewa setelah dia tahu Dina terbangun.
Dina
merasakan kepiluan di hati menghempaskan dirinya dalam jurang kepedihan
yang terdalam. Teman dekatnya yang dia percaya selama ini sedang
menciumi bibirnya.
Dina coba menarik tubuhnya tapi tak bisa.
Badan Dewa terlalu berat menekannya. Dewa makin berani, dia
menggesekkan batang kemaluannya di bibir lubang kemaluan Dina. Tidak
ada yang terasa di hati Dina selain goresan luka yang sangat dalam.
Dina tidak menikmatinya sama sekali, bahkan merasa sesak karena dadanya
tertekan oleh dada Dewa.
Dina ingin berteriak minta tolong, dia
menjerit kecil ketika dirasanya kepala batang kemaluan Dewa sudah
menusuk lubang kemaluannya. Dia ingin sekali berteriak, tetapi pita
suaranya tak juga bergetar terhalang oleh rasa kasihan kepada
sahabatnya jika seisi rumah terjaga. Dicoba mendorong tubuh Dewa.
Tetapi percuma karena Dewa menggenggam erat pergelangan tangannya. Dia
benar-benar sayang pada Dewa. Rasa sayang sebagai sahabat yang terlalu
berlebihan membuatnya tidak tega untuk berteriak.
Dalam
kepedihan dan nyeri di hatinya, Dina hanya bisa pasrah menerima desakan
dan hujaman batang kemaluan Dewa di lubang kemaluannya. Sakit rasanya.
Berulang-ulang dirasakan batang kemaluan itu keluar masuk bibir lubang
kemaluannya. Dina merasa lubang kemaluannya terganjal oleh penuhnya
batang kemaluan Dewa. Dina berusaha untuk menarik lubang kemaluannya
menjauh tetapi tetap saja batang kemaluan Dewa mampu menerobos lubang
kemaluannya. Setelah beberapa lama dirasakan semprotan cairan panas
berkali-kali dalam rongga kemaluannya.
Dewa lalu bangkit
meninggalkan dirinya. Pilu dan nelangsa menemani isak tangisnya ketika
Dewa keluar dari jendela kamar. Dina terus menangis dengan kemaluan
yang basah oleh sperma dan sedikit darah.

Jakarta, (Malam Pertama di Hari Pernikahan)

Ryan
kembali menelepon bidadarinya agar datang ke rumah. Sudah seminggu dia
tidak melihat wajahnya. Kangen sekali hati ini ingin melihat lesung
pipit dan senyum manis di bibirnya. Wanita itu ditemuinya dua minggu
yang lalu ketika dia sedang mencari bahan berita di daerah prostitusi.
Pertama kali melihat, Ryan sungguh terkejut. Dia teringat akan gadis
yang sangat dicintainya. Wajah mereka bagaikan pinang dibelah dua. Rasa
kangen dan cintanya yang selama ini ditahan hadir kembali.
Rasa
cintanya pada Dina memang sangat mendalam, hingga saat ini dia belum
bisa menghapus keinginan untuk memiliki hati adik kelasnya saat di SMA
itu. Sebuah kenangan yang selalu menghujam hatinya setiap ia teringat
pada gadis itu. Ryan merasa beruntung ketika dia menemukan lagi
bidadarinya itu, walaupun hanya replikanya.
Lonceng di kamarnya
berdenting 8 kali ketika didengar pintu kamarnya diketuk. Bangkit Ryan
ke arah pintu, dipandangi wajah wanita yang berdiri melempar senyum
setelah dia membuka pintu kamarnya.
“Kamu benar-benar mirip dia. Kamu memang bidadariku,” guman Ryan.
“Mau masuk nggak?” Ryan mendorong daun pintu kamar.
Di depan kamar dua orang temannya sedang duduk menonton TV.
“Jangan terlalu berisik Yan..!”
“Jadi pengen nih!” kata mereka sambil tersenyum.
Mereka
lalu bercinta malam itu. Si wanita sambil tersenyum manis rebah
telentang dengan posisi setengah mengangkang mempertontonkan seluruh
anggota tubuhnya ke arah Ryan. Kedua buah dadanya yang terlihat penuh
membentuk bulatan indah yang sempurna. Kedua puting payudaranya yang
kecil berwarna coklat kemerahan mengacung ke atas menantang.
“Uoogh…”
tanpa terasa mulut Ryan mendesah menahan ereksi, takjub menyaksikan
keindahan bukit kemaluan si wanita. Belahan bibir kemaluannya yang
merah walau sedikit kecoklatan terlihat sangat tebal. Bibir luarnya
terbuka seakan memanggil-manggil Ryan untuk menikmati.
Si wanita
tersenyum melihat batang kemaluan Ryan yang telah tegang, dan membuka
kakinya lebih lebar. Terlihat bagian dalam lubang kemaluan yang merah
dan basah. Ryan mendekat ke arah bukit itu pelan-pelan sekali sambil
mengusap paha si wanita. Didekatkan lidahnya pada bibir lubang
kemaluannya. Ryan mencium lembut bibir kemaluan itu, dijilati ujungnya,
dan diputar-putarkan lidahnya. Terkadang dimasukkan lidahnya ke dalam
rongga lubang kemaluan membuat rongga itu semakin berdenyu-denyut. Hal
ini membuat nafsu Ryan semakin memuncak, lalu dia menggangkat badannya.
Wajahnya mendekati wajah bidadarinya, dilihatnya wanita itu tersenyum.
Mereka
berdua secara bersamaan melenguh nikmat saat kulit tubuh mereka saling
bersentuhan dan akhirnya merapat dalam kemesraan. Batang kemaluan Ryan
yang berdiri tegak bergetar saat menyentuh bukit kemaluan yang halus
dan sangat empuk. “Bukit kemaluan bidadariku memang montok dan besar.”
Perlahan Ryan membuka kedua belah paha si wanita. Dengan lembut Ryan
menyentuhkan, menyelipkan batang kemaluannya ke dalam bibir kemaluannya
yang basah. Ryan berhenti sejenak ketika kepala batang kemaluannya
masuk 1/4. Dia memejamkan matanya menahan nikmatnya perasaan saat itu.
Perasaan luar biasa ketika kepala batang kemaluannya menggesek bibir
lubang kemaluan si wanita. “Lagi Yan, masukin lagi…!” merengek dia
ketika mengetahui Ryan menahan gerakannya. Ryan tentu saja akan
melakukan hal itu. Dia lalu memajukan batang kemaluannya perlahan
memasuki lubang kemaluan bidadarinya. “Ouugghh..!” Ryan melenguh ketika
pangkal batang kemaluannya menyentuh lubang kewanitaan. Terasa seluruh
batang kemaluannya digenggam erat di dalam lubang kemaluan. Ryan lalu
memaju-mundurkan pantatnya. Dia menarik sampai sekitar 50 persen
panjangnya, lalu menekan lagi hingga masuk semuanya. Ryan terus
melakukan itu, sekarang dia mulai berani mengocok agak keras cepat.
Setelah
beberapa lama, tiba-tiba, “Oougghh, oh.. oh.. oh. oh..” si wanita
menjerit-jerit. “Ough.. terus Yan..!” digeleng-gelengkan kepalanya ke
kiri dan kanan. Lubang kemaluannya semakin basah, dan meremas-remas
batang kemaluan Ryan. “Uhh.. hu.. hu. huu..” terdengar suara si wanita
seperti merintih, menahan nikmatnya sodokan batang kemaluan Ryan.
“Yaaan… udah Yaan… aku udah dapat!” teriaknya ketika merasakan
orgasme, rongga kewanitaannya menjadi lebih berdenyut, seperti
menggigit lembut batang kemaluan Ryan. Si wanita menaik-naikkan
pantatnya agar batang kemaluan Ryan makin dalam mengisi lubang
kemaluannya.
“Ouughhhh… Yan.. Hiks.. hiks.. hu.. hu..” si
wanita kembali merintih kenikmatan. Kedua tangannya meremas-remas
pundak Ryan. Ryan tiba-tiba merenggut pantat si wanita,
mencengkeramnya. Dihentak-hentakkan pantatnya ke bawah. Hal ini membuat
gesekan antara batang kemaluan dan rongga lubang kemaluan makin cepat.
Ryan terus melakukannya hingga pada hentakan terakhir ditekannya pantat
lama sekali ke bawah. Tiba-tiba sang bidadari merasakan senjata Ryan
semakin besar, Ryan mencapai orgasmenya. “Ooouughh..” Dia merasakan ada
tembakan hangat di dalam perutnya. Lembut dan mesra. Semprotannya
kencang sekali dan berkali-kali. Kira-kira tujuh atau delapan tembakan,
badan Ryan mengejang, dan lalu lemas, lunglai, jatuh ke depan, menindih
tubuh sang bidadari. Tubuh mereka berkeringat, basah sekali.
Malam
itu Ryan tidak berminat untuk bercinta lebih dari sekali. Dia merasa
sudah senang bisa memandangi wajah cantik yang terlihat sayu di
depannya. Tidak seperti malam lain kegalauan di hatinya sirna, malam
itu dia merasa bahwa kebahagiaan yang selama ini dinantinya akan jadi
nyata. Si wanita menggeser pantatnya lalu berdiri dan membereskan
tasnya. Segera Ryan loncat dan mencegahnya.
“Habiskan malammu di sini!” pinta Ryan dipeluknya paha si wanita.
“Kamu tampak tidak berminat. Ada setoran yang harus kupenuhi.”
“Aku bayar kamu lebih.”
Segera
Ryan memeluk tubuh si wanita yang masih telanjang bulat. Membawanya
merebah di atas ranjang kamarnya. Dipeluk erat tubuh si wanita.
Dipandangi wajah itu sambil mengusap-usap rambutnya sampai mereka
akhirnya tertidur. Malam itu mereka tertidur dengan alat kemaluan
mereka saling bersentuhan sepanjang malam.
Terdengar kokok suara
ayam bersahutan ketika Ryan terbangun. Dilhatnya sang bidadari masih
tertidur dengan tangan memegang batang kemaluannya. Dicium lembut bibir
wanita di depannya itu.
“Andai saja kau benar-benar Dina,” lirih Ryan berkata.
Dicium lagi bibir si wanita dengan maksud agar dia terbangun.
“Bidadariku..! Kamu tahu aku mencintaimu kan?” kata Ryan setelah mereka mandi dan si wanita telah siap berangkat pergi.
“Gokil luu..!” sahutnya tertawa sambil mengambil uang dari tangan Ryan.
Dijentikkan jarinya di hidung Ryan.
“Sampai nanti ya Yaan..!”
Melayang
terbang tinggi angan Ryan sejak itu, terombang-ambing dalam
khayalannya. Kadang teringat raut wajah Dina, lalu masa ketika dia di
team basket SMA, di masa itulah dia dekat dengan Dina, lalu
pekerjaannya, tertiup lagi ke kisah SMA-nya. Ryan tidak tahu harus
melakukan apa hari itu. Pikirannya sedang hampa. Lalu dia beringsut
menyalakan komputernya. “Sshh..!” dihembuskan asap rokok dari hidungnya
sambil matanya tetap menonton film Terminator 2 di monitor komputernya.
Film ketiga yang ditontonnya hari itu. Ketika dijentikan rokoknya di
atas asbak, terdengar, “Ding Dong..!” Bel rumah tempat Ryan kost
berbunyi. “Din dong..!” Ditarik kursi malasnya ke belakang dan diseret
kakinya berjalan ke ruang tamu.
Demi Hujan Badai dan Panasnya
Matahari! Ryan terkejut memandang sosok wanita di hadapannya. Seluruh
alam raya bersujud dan memuji kehadirannya. Butir air mata dan semerbak
harum tubuh menambah keagungannya. Sinar wajahnya mengusap hati Ryan,
damai terasa. Lama Ryan menatap wanita itu memastikan dia tidak salah
lihat. Cinta lama bersemi lagi, dua insan manusia yang memendam kasih
bersahutan memancarkan cinta. Kebahagian yang dulu didamba kini
menyentuh hati mereka. Tidak ada manusia yang menyangkal tidak
menginginkannya, ketika mimpi dan cinta yang hilang jadi nyata, semua
orang akan berebut menggapainya.
“Dina…! Ada apa? Mengapa menangis?”
Tak ada kata yang terucap dari bibir Dina.
“Silahkan masuk..!” sambil tangan Ryan mempersilakan juga Dina untuk duduk.
Dina
melangkah masuk dan meletakkan pantatnya di sofa, kantung matanya
tampak tebal. Diseka tetes air matanya yang sulit ditahan.
“Apa yang terjadi?” Ryan lalu turut menghempaskan pantatnya pada sofa di depan Dina.
Dia
merasa khawatir dengan kondisi Dina. Dina terdiam, lama mereka terdiam
dengan kondisi ini. Dina yang tetap sesegukan, dan Ryan yang menatap
penuh kasih tidak mengeluarkan sepatah katapun. Lenggang suasana saat
itu, hanya deru suara angin yang meniup ranting pepohonan sesekali
membuat mereka menoleh.
“Ryan..! Antarkan aku ke Kalianda. Aku capek!” suara Dina keluar ditengah isak tangisnya.
“Aku ingin pulang,” lanjutnya.
“Baik!”

2016

Bandung, Cerita Dosa Sang Bidadari

“Setelah
itu dia mengusap kedua susuku. Diremas dan dipermainkan putingnya
sambil menggesek-gesekkan batang kemaluannya ke perutku. Lalu dia
mencium payudaraku, perlahan diturunkan ciumannya ke bawah. Bibir
kemaluanku dijilat, dijulurkan lidah dan menusuk ke dalam lubang
kemaluanku. Dijilat, terus jilat dan dijilat sambil tangannya
meremas-remas puting payudaraku.”

“Setelah sekian menit dalam posisi
ini, ada rasa yang tidak pernah aku alami sebelumnya. Sangat nikmat.
Otot lubang kemaluanku seperti tersedot-sedot. Rasanya aku ingin
menjerit-jerit dan berteriak untuk melampiaskan nikmatnya. Aku baru
tahu kalau itu yang namanya orgasme,” lalu Dina terdiam seperti
mengenang saat-saat itu.

“Lalu dia merebahkan badanku.
Didekatkan pinggulnya ke selangkanganku. Pahanya berada di bawah
pahaku. Aku tahu dia akan memasukkan batang kemaluannya. Terasa kepala
batang kemaluannya sudah menempel di bibir lubang kemaluanku.Tiba-tiba
aku tersentak karena rongga lubang kemaluanku terasa penuh,” Dina
menutup wajahnya, terlihat sekali dia menahan beban yang berat di dalam
hatinya mengenang masa-masa itu.

“Ryan mendongakkan kepala dan
memejamkan matanya. Peluh membasahi seluruh tubuh dan wajahnya. Aku pun
ikut menaik-turunkan pantatku berkebalikan arah dengan gerakan Ryan.
Setiap permukaan lubang kemaluan dan klitorisku menyentuh pangkal
batang kemaluannya rasanya indah sekali.”

“Setelah itu yang
kutahu aku memejamkan mataku, lalu aku merancau tak menentu. Hingga
kurasakan rasa yang tadi kualami, lubang kemaluanku kembali seperti
disedot-sedot. Aku berteriak dan menggigit bibirku. Rasanya lebih
nikmat dari orgasme pertamaku. Tidak lama Ryan juga berteriak. Ouughh
katanya,” Santi tersenyum ketika dia menirukan ucapan Ryan.

“Terasa
hentakan di lubang kemaluanku. Ryan menekan batang kemaluannya sedalam
mungkin ke lubang kemaluanku, sambil badannya terhentak-hentak. Terasa
tembakan sperma di ujung dalam kemaluanku sekitar 7 kali. Hangat
sekali.”

“Untuk berapa lama, batang kemaluannya tetap terselip
di lubang kemaluanku. Sepertinya kami berdua tidak mau memisahkan
kemaluan kami,” Dina menghela nafasnya.

“Ya, begitulah kejadiannya,” kata Dina mengakhir ceritanya.

Dewa mengusap wajahnya sendiri. Ditahan rasa cemburu di hatinya, biar bagaimanapun kini harapannya mendekati kenyataan.

“Kau tahu aku mencintaimu kan?”

“Ya aku tahu.”

“Kumohon jangan katakan lagi tentang Ryan.”

“Tapi Wa, aku masih susah untuk melupakannya.”

“Janganlah sedetail itu.”

“Aku hanya tidak ingin ada bagian yang kulupakan. Akan aku ingat semua kenangan indahku bersama Ryan.”

Dewa menatap mata sendu Dina dalam-dalam, memandang ke sepasang mata yang mulai terlihat surut, menghisap rokoknya dalam-dalam,

“Walau bagaimanapun, yang namanya cinta, memang cenderung berakhir menyakitkan, menorehkan luka kenangan yang sulit dilupakan.”

“Ah, tapi ada kan yang cintanya tetap kekal dan membawa kebahagiaan?”

“Bagi
sebagian iya, bagi yang lain tidak. Kita hanya bisa melanjutkan hidup
kita dan menikmati yang tersisa. Kelak akan datang mentari menyapu
mendungmu saat ini. Percayalah!”

Dikembangkan senyum, diremas jemari tangan pujaan hatinya.

“Kamu tahu banyak Wa,” guman Dina tak tertarik membalas senyum Dewa.

“Aku
cuma tahu satu, bahwa aku akan selalu mencintaimu dan menemanimu dalam
suka maupun duka,” dibuangnya puntung rokok jauh-jauh ke pantai.

Dina hanya bisa menggigit lemah bibir tipisnya.

“Jadi kita jenguk Toni? Kita tidak pernah menjenguknya!” tanya Dewa sambil membersihkan pasir yang menempel di celana.

“Dia
takkan mau. Setelah semua yang terjadi, aku rasa dia tak akan pernah
mau menemuiku! Aku juga tidak mau menemuinya. Dia mencabut kebahagianku
yang hampir jadi nyata!” Dina menghela nafas.

Pre Epilog:

Kalianda, Kisah Ryan menghantar Dina ke Kalianda

Mereka
duduk di tepi danau. Setelah sekian lama mereka bersama dalam perjalan
menuju Kalianda tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir
mereka. Mereka hanyut dalam pikiran masing-masing. Bergulat tanya
haruskah dicurahkan rasa yang seharusnya sejak SMA dulu dikatakan.

“Maaf aku menyusahkanmu.”

“Kenapa kau tidak langsung ke rumah saja,” Ryan mencabuti rumput di depannya.

“Aku rindu tempat ini.”

Ryan melihat ke arah Dina, terbuka mulutnya untuk bertanya suratnya dulu.

“Ada yang ingin kukatakan padamu…”

“Ryan! Mengapa kamu membohongiku?” potong Dina menatap mata lelaki yang sangat dicintainya itu.

“Aku tidak pernah membohongimu,” Ryan tidak mengerti maksud perkataan Dina.

“Lima tahun yang lalu aku menunggumu di sini. Dan kau tidak pernah datang.”

Terhenyak Ryan mendengar perkataan Dina.

“Aku juga menunggumu, dan kau tidak pernah datang.”

Perasaan terkejut kini dirasakan oleh Dina.

“Dimana?”

“Di tempat kita duduk sekarang.”

“Dan kau?”

“Sama… di tempat kita duduk sekarang!”

Ranting
dedaunan bergesekan menimbulkan suara gemuruh di telinga mereka.
Segemuruh hati mereka yang tidak mengerti atas semua yang terjadi. Jika
memang itu yang terjadi mereka telah salah mengira tentang perasaan
masing-masing.

“Aku menunggumu Yan!” Dina menahan isak tangisnya.

“Aku cinta kamu,” menetes air mata bahagia dari mata Dina.

“Aku
juga. Kaulah bidadariku. Tak ada wanita yang kuinginkan selain kamu.
Siang dan malam kuimpikan dirimu. Sejak dulu aku ingin mengatakan AKU
CINTA KAMU.. DINA.”

“RYANN..!”
dipeluknya tubuh Ryan sekuat tenaga dalam isak tangisnya yang deras
mengalir. Dicurahkan rasa kasih yang ditahannya selama ini. Ryan
menyapu lembut bibir bidadarinya dengan tangannya, dibenamkan wajahnya
pada rambut Dina dan mencium lembut harum aromanya. “Yan… cium aku,”
bisik Dina lirih. Mereka pun bercinta malam itu disaksikan oleh
pancaran lembut sinar rembulan yang menyentuh halus tubuh dua insan
yang dipenuhi rasa rindu dan kasih itu.

Kalianda, Kisah Toni di waktu yang sama

Toni
menginjak keras pedal gas mobilnya. Terbakar emosinya membayangkan Dewa
dan istrinya sedang bercumbu. Dibaca lagi surat istrinya:

Ton..!! Aku pulang ke orangtuaku.

Istrimu

Tadi
dia sudah ke rumah Dina dan dia tidak ada. Diinjak rem mobil ketika dia
sudah sampai ke pelataran parkir danau. Diambil kunci Inggris dan
senter dari mobilnya.

“Akan kuhantam palanya dengan kunci ini,” ujarnya sambil terus melangkah.

“Aku tahu kau di sini, kau dan Dewa memang sering ke tempat ini. Sama seperti suratmu padanya.”

Dicengkeram
erat gagang kunci Inggrisnya. Dinaikkan lengan bajunya makin ke atas.
Sesaat dia terdiam memicingkan matanya melihat dengan geram dua insan
saling berciuman tanpa busana.

“Anjing Luuu…!” berlari dia mendekati mereka.

Diacungkan tangannya dan “DAAKKK..!” Kunci Inggis menghantam kepala si pria yang berada di samping istrinya.

“Hah.. Ryan..!?” terkejut Toni menyadari bahwa pria itu adalah Ryan.

“Kau
memang pelacur…!” dicengkeram leher si wanita, dijotoskan kepalan
tangannya ke pipi lalu ditendang tubuh itu. Ditendangnya sekuat tenaga.

Dina
hanya bisa menangis menahan sakit. Sekujur badannya terkena sepakan
sepatu Toni berkali-kali. Tiba-tiba dirasa matanya berkunang-kunang.

“Anjing luu, dulu Dewa sekarang Ryan..!”

Ditendangnya
terus tubuh di depannya sampai akhirnya tak bergerak. Toni terdiam,
nafasnya terengah-engah berkejar-kejaran dengan emosinya. Diangkat
tubuh istrinya, lalu dibopong ke arah mobil. Cuma satu tujuannya,
membawa istrinya segera ke rumah sakit. Kepulan asap mobil berterbangan
saat mobil itu melaju, jauh di tepi danau tubuh Ryan terlentang dengan
kepala berdarah. Tak lama Ryan menghembuskan nafas terakhirnya.

Bandung, Kisah Dewa di waktu yang sama

Dewa
lalu beringsut, dinyalakan korek api dan dibakar surat yang
dipegangnya. Surat itu diberikan Toni saat istirahat kedua lima tahun
lalu waktu mereka di SMA. Katanya dia menemukan surat itu di bawah meja
Dewa. Sekilas dilihat gugup di wajah Toni. Jelas Toni sudah membacanya.
Dewa pun membaca isi surat itu. Saat itu sambil tersenyum Dewa
mengatakan itu surat Dina untuknya. Sesungguhnya dia tahu, itu bukan
untuknya melainkan surat cinta Ryan untuk Dina. Dimasukkan surat itu ke
dalam tasnya, terbuka mulut Dewa ingin menanyakan kegugupan di wajah
Toni, tapi terdengar derai tawa Dina bersama teman ceweknya datang
mendekat. Waktu itu tak ada kata yang terucap dari bibir Dewa selain
menyuruh Toni pergi.

Api mulai membakar surat itu meninggalkan
noda hitam. Dewa pun memekarkan tangannya membiarkan surat yang masih
jelas terbaca itu jatuh.

Telah lama aku menyimpan rasa ini.
Sejak pertama kali bertemu aku selalu memimpikanmu di setiap tidurku.
Tidak ada yang aku inginkan di hidup ini selain kamu. Aku sudah
berlatih mengatakan hal ini langsung padamu. Tapi aku tidak bisa.
Setiap berada di dekatmu, hatiku selalu berdebar dan tidak ada kata
yang bisa keluar dari bibir ini. Kata hatiku kamu juga mencintaiku,
mungkin aku berlebihan menangkap sinyal di matamu. Tapi jika perasaanku
benar, datanglah malam ini ke tepi danau. Aku akan menunggumu di sana.
Aku akan terus menunggu sampai fajar menyingsing. AKU BENAR-BENAR
MENCINTAIMU!

Chopin

Epilog:

Kalianda, 5 Juni 2010, Masa-masa SMA

Sepasang
mata yang mengamati sedari tadi lalu berucap, “Dina.. Maafkan aku..!”
berjuta bintang di alam raya tapi hanya sang gadis yang dipuja,
digesernya ranting yang menusuk pinggangnya. “Aku kaget tadi siang saat
Dewa memergoki, untung itu surat Dina, jadi rencanaku masih bisa
berjalan. Dewi Fortuna memang mencintaiku,” gumannya sambil
mendongakkan kepalanya menyapu alam semesta yang luas di atasnya. “Aku
terpaksa Dina, agar kau dan Dewa tidak pacaran. Kupikir Chopin nama
panggilan Dewa, ternyata itu namamu. Tapi nggak papalah, karena hal itu
rencanaku jadi tetap berjalan walaupun Dewa memergokiku. Yang pasti kau
tidak akan bertemu Dewa malam ini. Siapa tahu kalian akan saling
benci,” gumannya sambil matanya terus menerawang memandang bintang yang
mulai muncul di langit.

Tak lama diambil tasnya lalu berujar,

“Aku
mencintaimu Dina..! Sungguh mencintaimu..!” dilangkahkan kakinya
meninggalkan tempat itu setelah sosok Dina menghilang tak terlihat.
Berjalan dia mengikuti bayangan tubuhnya sendiri hingga pelataran
parkir.

“Hey Yan..!” katanya saat melihat Ryan turun dari mobil
sambil membawa sekuntum bunga mawar putih. Ryan tak sempat membalas
teguran itu karena terburu-buru lari menuju tepi danau.

“Huh..! Sombong sekali dia. Tapi, mana Dewa? Kok dia tak datang malam ini,” gumamnya melihat ke sekeliling.

Kini
setelah lima tahun mendekati Dina, tetap saja dia tidak mampu
menaklukan hatinya. Dia memang masih berhak memiliki tubuhnya, tapi
bukan hatinya. Dinginnya udara di ruangan itu kembali menusuk-nusuk
tulang di tubuhnya. “Apakah ini hukuman yang harus kuterima atas
kesalahanku itu?” katanya mengenang masa SMA. Mata Toni menerawang jauh
memandangi sinar rembulan yang masuk melalui sela-sela jendela rumah
sakit.

Di depannya tubuh Dina terkapar dengan memar di sekujur
tubuh. Toni masih tidak mengerti, mengapa dia jatuh cinta pada wanita
murahan seperti Dina. “Dengan Dewa aku tahu dia cintamu. Tetapi dengan
Ryan? Kamu memang… huuhhh,” terdengar helaan nafas dari mulutnya.
Ditahan kata murahan yang tidak jadi diucapkan. Toni berjalan ke
bangsal dan menyuruh suster pertama yang ditemuinya untuk menelepon
polisi.

Terima kasih kami ucapkan untuk:

Putradewa, Toni, Almarhumah Ryan, dan seluruh kru MoMMa.

Puja dan puji kami ucapkan untuk:

Dina dan bidadari palsu.

Kami
tidak mengucapkan apa-apa untuk yang tidak suka cerita ini. Untuk yang
suka, kirimkan ide atau inti kisah hidup anda kepada kami. Kru MoMMa
akan berusaha keras meramunya dan menyajikannya sesuai permintaan anda.
Mungkin anda ingin mengoleksi kisah cinta anda sendiri. (Untuk team
editorial, mohon tidak mengedit catatan akhir dari saya. Itu bukanlah
advertasing. Cerita yang jadi akan saya kirimkan juga pada anda. Saya
adalah penggemar berat situs ini dan tidak pernah mengirim cerita pada
situs lain. Hormat saya, Dewa Putradewa).,,,,,,,,,,,,,

TAMAT

Related posts