Supriyanto

SLOT GACOR SLOT GACOR


Namaku Supriyanto, umurku 18 tahun, baru saja lulus SMU tahun ini. Aku anak dengan orangtua tunggal. Ibuku meninggal pada saat aku berusia 11 tahun karena sakit, sedangkan bapak sejak ibu meninggal, kerja sebagai TKI di Korsel. Jadi hanya tinggal aku sendiri yang menempati rumah orangtuaku di desa ini. Aku tidak perlu kuatir kekurangan uang saku, karena setiap bulan bapak mengirimkan uang lebih dari cukup untuk hidup sebulan. Jadi sedikit demi sedikit aku dapat menabung.

Walaupun aku sudah berumur 18 tahun, dan wajahku termasuk ganteng untuk ukuran di desaku, tetapi aku sama sekali belum pernah merasakan apa yang dinamakan berpacaran. Aku memang minder terhadap teman-teman gadisku di sekolah, aku lebih berkonsentrasi pada pelajaranku disekolah daripada berusaha mendekati seorang gadis, lagipula, memang pada saat ini belum ada seorang gadispun yang membuatku tertarik, paling-paling aku hanya berusaha berteman seperti biasanya.

Sebenarnya tepat di depan rumahku tinggal Bulik(bibi,adik ibu/ayah) Tin, waktu aku masih kecil aku dititipkan dengan Bulik Tin, ketika menginjak SMU lah baru aku boleh tinggal sendiri di rumahku. Nama Bulik Tin sebenarnya adalah Prihatin, lengkapnya aku sendiri tidak pernah tau. Bulik Tin adalah adik dari bapak, umurnya sekitar 27 tahunan. Wajah Bulik Tin menurutku cukup ayu, walaupun gak seperti bintang film yang sering muncul di TV, atau penyanyi dangdut yang sering manggung di lapangan pojok sana. Bulik Tin sudah menyandang status janda ketika baru 1 bulan perkawinannya, suaminya, Mas Wito (begitu aku manggilnya) meninggal kecelakaan ketika hendak mengantarkan Bulik ke sekolah SD tempat Bulik mengajar. Bulik Tin sendiri kehilangan pergelangan kaki bagian bawah, diamputasi katanya. Yang aku ngerti kaki Bulik Tin sebatas pergelangan kaki sebelah kanan, diganti dengan kaki palsu. Jadi Bulik Tin kalau jalan, agak pincang karena kaki palsunya itu. Kini sudah hampir 4 tahun sejak kematian suaminya, walaupun begitu Bulik sayang sekali sama aku, aku juga sayang sama Bulikku itu. Bahkan sekarang aku juga lebih sering tidur di rumah Bulikku, menemani di rumahnya. Kadangkala aku membantu Bulik memeriksa pekerjaan rumah atau ulangan murid-muridnya, Bulik senang sekali kalo aku sering begitu. Kadang aku dihadiahi ciuman sayang kalau aku sudah selesai membantu Bulik mengerjakan tugas-tugas ringan di rumahnya.

Suatu hari temanku waktu SMU, Manto, mengajakku dolan(bermain) ke rumahnya, dia anak seorang juragan sapi, paling kaya sedesaku. Aku manut aja ketika dibilangi kalo mau ditunjukan sesuatu yang bagus. Ketika sampai dirumahnya aku di ajak ke kamarnya, lalu nonton film yang menurutku saru. Katanya itu namanya film BF, alias Blue Film. Pemainnya orang barat semua, di film itu mereka kok mau-maunya kentu (kentu=bersetubuh)di rekam sama orang lain. Aku bener-bener baru kali ini liat film macam gituan. Manukku (manuk=burung/penis) pas nonton film itu jadi ngaceng (ngaceng = ereksi). Sejak aku pertama kali liat film bf, aku makin sering dolan ke rumahnya Manto, dia punya koleksi kaset bf hampir 1 lemari penuh. Biasanya aku disuruh liat sendiri, kata Manto dia sudah liat semuanya, lalu dia mainan game Playstation di ruang tamu. Di kamar Manto aku bener-bener memperhatikan seluruh adegan yang dimainkan di dalam film itu. Kadang-kadang manukku keluar cairan bening, agak-agak lengket. Kata Manto itu wajar, soalnya aku terangsang liat begituan. Aku ga berani tanya lebih jauh lagi, aku cuman manggut-manggut pura-pura ngerti apa yang dijelaskan ama Manto.

Sebenarnya aku mau tanya Bulik Tin mengenai hal tersebut, karena dia seorang guru, jadi aku anggap lebih ngerti masalah gitu. Tapi aku juga ga berani tanya, soalnya takut dimarahin karena sudah nonton film yang saru. Nanti pasti aku ga boleh dolan kerumahnya Manto lagi. Jadi aku diam aja sementara ini. Kalo aku ditanya Bulik, napa kok setiap hari sekarang dolan kerumahnya Manto, paling-paling aku berbohong kalu cuman mainan Playstation. Hingga suatu ketika aku nonton film bf yang pemainnya dari asia (tidak tau dari negara mana itu), salah satu pemainnya wajahnya mirip sekali dengan Bulik Tin, ayu. Waktu aku pulang kerumah Bulik Tin malam harinya aku teringat terus film yang barusan aku lihat tadi. Waktu aku makan, aku melirik Bulik Tin sembunyi-sembunyi. Bulik Tin sedang menyulam (katanya buat taplak meja) di kursi panjang, dia memakai daster seperti biasanya. Tapi aku membayangkan film yang tadi, membayangkan seandainya Bulik Tin telanjang. Manukku ngaceng. Aku jadi ga enak makan sendiri, akhirnya aku bawa piringku ke belakang dan nyuci. Sehabis nyuci piring dan gelasku aku duduk di dekat Bulik Tin, memandangi Bulik.

“Ada apa to Tok? (Bulik Tin manggil aku Totok) kok ngeliatin Bulik terus kaya gitu?” Tiba-tiba Bulik melontarkan pertanyaan. Aku jadi gelagepan.

“Ga pa pa kok Bulik.” Aku menjawab sekenanya lalu pamit hendak tidur. Aku kemudian masuk kamarku sendiri. Malam itu aku benar-benar ga bisa tidur.

***

Sejak itu aku makin jarang kerumahnya Manto, aku jadi makin betah di rumah Bulik Tin. Tiap malam aku selalu curi-curi liat wajahnya Bulik Tin. Kadang waktu dia pakai daster kembang-kembang kesukaannya aku berusaha curi-curi liat susunya Bulik. Tapi ga pernah berhasil, karena Bulik selalu pakai BH. Akhirnya muncul ide gilaku, ngintip Bulik Tin waktu mandi. Suatu sore aku sengaja belum mandi dulu, aku membolak-balik halaman majalah lama di kursi panjang, sengaja menunggu Bulik Tin. Ketika Bulik Tin bangun dari tidur, hatiku makin gelisah saja, majalah itu sudah lama tak ku perhatikan. Aku melirik Bulik yang barusan keluar dari kamarnya, seperti biasanya dia minum air putih di meja makan, aku terus merlirik diam-diam setiap aktivitas yang dilakukan oleh Bulik Tin. Bulik sekarang sudah mengambil handuk, dia menuju ke tempatku duduk.

“Lho kamu belum mandi to Tok? Kok yo dengaren.” (dengaren=ga biasanya)Tanya Bulik. 

“Belum Bulik, ini Totok mau masukkan si Jalu dulu (ayam jantan piaraanku) ke kandang, tadi soalnya Jalu kabur ke depan. Bulik mandi aja duluan.” Jawabku memberi alasan.

“O ya wis kalo gitu Bulik tak mandi dulu.” Bulik lalu dengan langkah agak diseret menuju ke kamar mandi di belakang. Kamar mandi di rumah Bulik Tin memang hanya bertembok sedikit tinggi di atas kepalaku, selain itu pintunya hanya seng yang sudah lubang sana-sini. Jadi besar kesempatanku untuk melakukan ide gila itu.

Jantungku berdegup kencang ketika dengan pelan-pelan aku menuju ke belakang rumah. Suara Bulik Tin terdengar jelas, bersenandung kecil, aku menunggu didekat kandang ayam sebelah kamar mandi. Tedengar suara cebur air, itu merupakan tanda bahwa Bulik sudah mandi, perlahan-lahan aku menaiki kursi tua di pojokan.  photomemek.com Langit yang sudah mulai menghitam membantuku supaya rencana ini berhasil. Aku mulai menaikkan kepalaku perlahan-lahan, lampu kamar mandi sebesar 5 watt sudah dinyalakan, jadi aku harus hati-hati. Aku mulai melongokan kepalaku melewati tembok kamar mandi. Dari sudut ini aku mulai melihat kepala Bulik sedikit demi sedikit, aku berusaha terus dengan pelan-pelan mengangkat kepalaku. Akhirnya seluruh tubuh Bulik Tin yang telanjang terlihat jelas di bawah penerangan lampu 5 watt. Lama aku memandangi tubuh mulusnya Bulik, susunya membulat kencang, sementara aku melihat di bagian bawahnya, jembutnya terlihat gak begitu lebat. Kaki palsunya di taruh di atas rak kayu, jadi yang terlihat kaki kanannya yang buntung. Bulik kini menyabuni seluruh badannya dengan berpegangan pada palang alumunium yang sengaja di taruh di situ sejak dulu untuk memudahkan Bulik mandi. Lama aku menikmati tubuh Bulik yang telanjang, hingga tiba-tiba keseimbanganku jadi goyah, reflek aku meloncat dari kursi tua itu, waktu aku mendarat di tanah berbunyi agak keras.
GEDEBUK!

Suara senandung Bulik seketika berhenti, jantungku seakan hendak meledak, tanpa banyak menunggu aku lari menuju ke ruang depan. Sesampainya di kursi panjang aku menenangkan diri, apakah Bulik tahu aku sedang mengintipnya? Jantungku berdetak seakan-akan hendak meloncat dari tempatnya. Dengan gelisah aku duduk menunggu sambil memikirkan alasan-alasan yang masuk akal.

Tak berapa lama tampaknya Bulik sudah menyelesaikan mandinya, terdengar suara pintu kamar mandi dibuka. Keringatku makin deras saja mengucur, membayangkan apa yang bakalan terjadi sebentar lagi. Langkah-langkah kaki terdengar mendekat.

“Tok, sana mandi, dah hampir mahgrib lho.” Suara Bulik terdengar seperti biasanya. Plong sudah hatiku, Bulik sama sekali tidak curiga.

“Ya Bulik, ini Totok mau mandi.” Jawabku, lalu aku segera ngacir ke belakang menghindari pertanyaan-pertanyaan Bulik selanjutnya.

Dikamar mandi pikiranku terus membayangkan tubuh mulus Bulik Tin yang basah, payudaranya yang kencang dan membulat sempurna. Burungku mulai berdiri lagi. Aku cepat-cepat menyelesaikan mandiku.

Malam harinya aku membantu Bulik Tin memeriksa pekerjaan ulangan bahasa Indonesia murid-muridnya. Makin senang aku membantunya ketika Bulik Tin hanya memakai daster pendek. Kelihatannya BH nya ga dipakai, karena aku sudah tau kebiasaan Bulik Tin kalau ga kemana-kemana malam harinya.
“Bulik, kalau tidak ada titik nya perlu dicoret tidak?” tanyaku pada Bulik Tin yang masih serius mengerjakan bagian lainnya.
“Lha iya tok, pokoknya kalau tanda baca tidak lengkap ya langsung dicoret aja.” Jawab Bulik Tin tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas-kertas dihadapannya. Posisi dudukku ini memungkinkan mencuri-curi pandang ke arah buah dada Bulik Tin. Aku duduk di lantai dengan bersila sementara Bulik Tin duduk di kursi depanku. Otomatis kalau lagi menulis di mejaku Bulik Tin agak membungkuk, sehingga leher dasternya menggantung, dan buah dadanya terlihat olehku. Selama membantu Bulik Tin, aku tidak bisa konsentrasi, dudukku gelisah karena burungku berdiri terus dari tadi. Walaupun cuman kelihatan susu bagian atasnya saja, rasanya sudah ndak karuan, ndredeg(berdebar – debar). Kadang-kadang waktu Bulik meluruskan punggungnya bersandar ke kursi, aku masih sempat-sempatnya berusaha ngintip bagian gelap diantara tengah pahanya. Walaupun tertutup daster dan tidak keliatan sama sekali, tetapi bayang-bayang hitam yang tercetak di mataku menimbulkan rasa penasaran dan fantasi yang lain. Jadi makin ngaceng dah manukku.

Kertas ulangan murid-murid Bulik Tin ditanganku sudah selesai semua kukoreksi, tetapi aku sengaja berlama-lama berada di posisi ini. Selain masih senang dengan ‘hobi’ baruku (ngintip), manukku masih berdiri tegak. Lha kalo aku berdiri, lak ya kelihatan jelas kalo aku ngaceng.
“Piye (gimana) tok? Dah selesai apa belum ngoreksinya?” tiba-tiba Bulik menegur.
Setengah kaget aku agak terlonjak, dah alhasil manukku yang lagi ngaceng itu terbentur kaki meja (waduh rasanya ampun dah!).
“Dah bulik, barusan juga sudah tak koreksi. Nih Bulik” Sambil menahan sakit aku menyerahkan hasil koreksianku ke Bulik, lalu cepat-cepat berdiri dan ngacir ke kamar.
“Loh tok, kena apa kok mringis-mringis gitu?” Tanya bulik Tin melihat aku ngibrit ke kamar sambil menahan sakit di selangkanganku.
“Ndak pa pa kok lik, cuman kebentur meja aja” sahutku dari dalam kamar sambil mengganti celana kolorku dengan sarung. Biar aga lega dikit tuh selangkangan.
“Apane yang sakit tok? Manukmu yo?” Tanya bulik sambil menahan senyum.

Aku langsung mualu berat ketauan bulik kalo yang sakit memang manukku.
“Iya lik, makanya ini sek ganti sarungan” jawabku dari bilik kamar.
“Ati-ati toh, ndak ada gantine lo kalo ampe patah” Bulik Tin ketawa lepas sehabis ngomong gitu. Aku akhirnya keluar kamar sambil tersenyum-senyum sendiri, asli isin tenan (malu sekali).

Aku duduk bersebelahan dengan Bulik Tin di kursi, sementara dia mulai sibuk mempelajari buku pedoman pengajaran untuk besok pagi. Tapi memang dasar aku baru tau ‘hobi’ baru, jadi keterusan melanjutkan apa yang tadi terputus. Aku sengaja memposisikan tubuhku bersandar ke tembok, sehingga aku langsung berhadapan dengan Bulik Tin. Sambil pura-pura baca buku-buku paket pelajaran anak SD, mataku sesekali berusaha mengintip belahan ketiak Bulik Tin (dasternya memang tanpa lengan) yang lagi berkonsentrasi membaca bukunya di meja (posisinya agak membungkuk karena mejanya lebih rendah). Ketiak Bulik Tin bersih dari bulu, bahkan nampak terawat, sesekali aku masih bisa menikmati ‘sedikit’ dari kulit susu Bulik Tin yang masih terbungkus daster itu.

Setelah lama puas ‘memandangi’ belahan ketiak dan sekitarnya, aku berpamitan menuju kamarku sendiri, sebelum Bulik Tin tau kalo manukku dah mulai ngaceng lagi. Tetapi di dalam kamar aku juga tidak bisa tidur membayangkan tubuh Bulik Tin, aku mulai berandai-andai dan menghayalkan yang tidak-tidak. Manukku rasanya makin linu karena sejak tadi berdiri terus. Aku mulai memikirkan bagaimana caranya supaya bisa mengintip Bulik lagi. Tiba-tiba terlintas lagi ide gilaku. Aku bertekad untuk mencobanya malam ini.

Tak berapa lama kemudian aku mendengar Bulik bersiap-siap untuk tidur di kamarnya. Lampu depan sudah dimatikan, dan kemudian terdengar langkah-langkah terseret Bulik Tin menuju ke kamarnya. Aku masih menunggu beberapa saat, sesekali masih terdengar derit ranjang di kamar sebelah, yang berarti Bulik Tin belum tertidur nyenyak. Akhirnya setelah menunggu beberapa lama (rasanya seabad), dengkur halus Bulik terdengar.

Aku perlahan-lahan mulai berjingkat keluar dari kamarku sendiri (semua kamar di rumah ini kebetulan tidak berpintu, hanya kain kelambu saja sebagai penutupnya), lalu perlahan-lahan menuju ke kamar Bulik di sebelah. Aku perlahan-lahan mengintip lewat kelambu ke dalam kamar Bulik. Ternyata benar dugaanku, Bulik sudah tertidur nyenyak dengan posisi miring menghadap ke tembok, sinar lampu kamar yang temaram membantuku untuk menuju ke tepian ranjang Bulik Tin. Sesampainya di tepi ranjang, keringat dinginku sudah mengucur deras tidak karu-karuan, aku berusaha berpikir untuk membatalkan saja rencana gila ini. Tetapi melihat tubuh Bulik Tin yang hanya sejangkauan tanganku saja, aku mengeraskan tekad untuk melanjutkan.

Perlahan lahan aku mulai mengetes kenyenyakan tidur bulik, tanganku sengaja mencolek-colek tubuhnya yang membelakangi aku, tidak ada reaksi. Berarti Bulik sudah tidur nyenyak sekali. Kini tanganku beralih ke tepian bawah dasternya, perlahan-lahan berusaha menyingkapkan daster itu ke atas, aku berusaha meminimalkan segala gerakanku. Perlahan-lahan nampaklah kedua paha mulus Bulik, hingga kedua pantatnya yang masih terbungkus oleh celana dalamnya tepampang jelas dihadapanku.

Aku menghela nafas perlahan, jantung berdegup kencang. Sedikit lega karena langkah pertama berjalan tanpa hambatan. Lalu aku memberanikan diri menuju ke tahap selanjutnya. Dengan menahan nafas, tanganku meraih tepian karet celana dalam Bulik, dengan sangat perlahan dan hati-hati, kutarik celana dalam itu ke arah bawah. 1 cm, 2cm, 3cm…..10cm, dan akhirnya tersangkut dan makin berat. Aku bingung bagaimana caranya celana dalam dibagian bawah (yang tertindih tubuh bulik) bisa ikut melorot?

Ditengah tengahnya aku mencari akal, tiba-tiba Bulik membalikkan badan, dengan panik aku menundukkan tubuh, lalu bergeser masuk kolong ranjang. Agak lama aku menunggu, setelah dirasa aman, pelahan-lahan aku kembali berdiri di tepian ranjang bulik. Kini posisinya tidur terlentang. Hampir saja aku bersorak kegirangan, bulu-bulu vaginanya sudah terpampang di jelas dihadapanku, dengan sedikit sentuhan yang sangat hati-hati, akhirnya terpampanglah pemandangan indah dihadapanku, gundukan vaginanya yang membukit dengan sedikit bulu-bulu halus diatasnya. Celana dalam nya sudah kupelorotkan hingga ke paha.  filmbokepjepang.com Dengan perlahan-lahan kudekatkan kepalaku persis di hadapan vagina Bulik. Aku berusaha memperhatikan vaginanya, ternyata lain dari yang pernah aku lihat di film-film BF nya si Manto. Punya Bulik ini terlihat lebih mulus dan lebih indah bentuknya, dengan gundukan mungil dan belahan diatasnya, membuatku semakin penasaran.

Perlahan-lahan aku memberanikan diri untuk menyentuhnya, mulai dengan bulu-bulunya hingga semua permukaannya bisa kuelus sempurna. Manukku ngaceng lagi!

Dengan sesekali memperhatikan wajah bulik yang tertidur, jari telunjuk dan jempolku berusaha ‘membuka’ belahan itu. Tercium aroma khas yang aku sendiri belum tau, pokoknya dibilang harum juga tidak, dibilang bau juga tidak, baru kali ini aku mencium aroma yang tak bisa kugambarkan ini. Terlihat sedikit tonjolan daging di atas belahan vagina yang kubuka ini, lalu agak kebawah sedikit, dengan bantuan lampu temaram aku melihat lipatan-lipatan kecil membentuk lubang kecil diantara pahanya. Rasa senang bercampur debar-debar ketakutan bercampur aduk jadi satu. Inilah pertama kalinya aku menyentuh dan melihat bentuk vagina dari jarak sedekat ini. 

Setelah puas aku memandanginya, kini aku beralih ke tubuh Bulik Tin bagian atas, kesenangan belum terhenti! Dengan perlahan-lahan juga aku mulai menyibakkan daster bulik keatas (entah darimana aku mendapat keahlian dan kesabaran seperti ini), hingga susu bulik Tin yang tak terbungkus BH terlihat seutuhnya. Darahku berdesir kencang melihat kemontokan susu Bulik Tin dari jarak sedekat ini.

Aku meneguk ludah memandang kemontokan susu Bulik Tin. Bentuknya membulat sempurna, kulitnya bersih dan mulus serta kenyal. Aku memberanikan diri menyentuh susu Bulik yang sebelah kanan, rasanya benar-benar seperti di awang-awang. Belum pernah aku merasakan kegirangan seperti saat ini. Maklum saja seumur-umur ya baru kali ini aku menyentuh susu seorang wanita.

Setelah puas menggerayangi kedua susu Bulik Tin, aku memberanikan diri mendekatkan mulutku pada puting susunya. Seperti yang pernah aku tau di film-film BF nya si Manto, aku jadi kepengen menjilati puting susu beneran. Perlahan-lahan aku menjulurkan lidah menyapu seluruh permukaan puting susunya Bulik. Saking enaknya tanpa sadar aku juga mengemuti puting itu seperti bayi menyusu pada ibunya.
“Ehm…mmmm..” Tiba-tiba Bulik mengerang pelan. Hampir copot jantungku! Secepat kilat aku bersembunyi di kolong ranjang.

Dengan cemas aku menunggu reaksi selanjutnya dari Bulik Tin. Terdengar derit ranjang diatasku.
‘Mati sekarang aku! Bulik pasti marah bes’ aku membatin dalam hati, sambil berharap itu tidak akan terjadi.

Beberapa lama kemudian, ternyata tidak ada reaksi apa-apa, ternyata Bulik masih tertidur dengan nyenyaknya. Aku memberanikan diri keluar dari kolong tempat tidur. Di ranjang ternyata bulik sudah berpindah posisi menghadap ke tepian ranjang, dasternya masih tersingkap diatas perut (sehingga susunya tidak terlihat lagi sekarang). Rasa lega menyelimuti aku, tetapi aku sudah tidak berani mengambil resiko lagi. Dengan perlahan-lahan aku berusaha merapikan celana dalam bulik keatas, sehingga vaginannya kembali tertutup, walaupun tidak sempurna, tetapi aku rasa sudah cukup. Lalu aku juga membenahi dasternya hingga menutup tubuh Bulik seutuhnya.

Setelah kembali ke ranjangku sendiri aku baru merasa aman dan lega. Manukku dari tadi terasa ngilu karena ngaceng terus sedari tadi. Aku berusaha memejamkan mata untuk tidur, tetapi bayang-bayang mulusnya tubuh Bulik Tin, aroma vaginanya yang khas, dan susunya yang montok terus berada di otakku. Setelah lama kemudian, akhirnya aku malam itu tertidur dengan mimpi-mimpi yang dipenuhi oleh tubuh mulus Bulik Tin.

Ketika aku terbangun pada pagi harinya, rasa kuatir itu kembali muncul. Bayangan akan kemarahan Bulik Tin sungguh membuatku menciut. Takut kalau Bulik tahu perbuatanku tadi malam. Aku terdiam lama di ranjang tanpa berani keluar kamar, walaupun sebenarnya aku sudah terbangun dari tadi.
“Tok, bangun gih, udah siang tuh” tiba-tiba Bulik Tin masuk ke kamarku, dia sudah berpakian rapi hendak berangkat mengajar. Aku menggeliat, berpura-pura baru bangun tidur.
“Iya Bulik, ini udah bangun kok” sahutku malas.

Bulik Tin tersenyum kecil, lalu duduk disamping ranjangku.
“Bulik berangkat dulu yah, tuh si Jalu sudah Bulik keluarin di belakang rumah. Dasar kamu molor terus sih!” kata Bulik Tin sambil mencium kedua pipiku. Dengan langkah agak pincang Bulik keluar dari kamarku. Aku bernafas lega, ternyata Bulik tidak tahu sama sekali tentang kejadian tadi malam. Aku meloncat dari ranjang dan keluar kamar, Bulik Tin sudah berjalan di halaman depan rumah.
“Ati-Ati di jalan Bulik!” Seruku. Bulik Tin hanya melambaikan tangan sambil tersenyum padaku.

Sejak saat itu, ketika Bulik sudah tertidur nyenyak, aku hampir tiap malam menjalankan ‘hobi’ baruku. Menjamah-jamah tubuh Bulik Tin yang mulus. Sesekali aku mendapat ‘rejeki’, ketika Bulik Tin hanya memakai daster saja tanpa memakai celana dalamnya, jadi aku tidak perlu-repot-repot untuk berjuang membuka celana dalamnya. Bahkan mulai melangkah lebih jauh lagi, terkadang apabila posisi Bulik Tin memungkinkan, manukku aku gesek-gesekkan dengan pelan di vaginanya, rasanya enak banget. Kadang-kadang dengan berani aku tempelkan manukku di bibir Bulik Tin. Rasa takut beserta nikmat menjadikanku ketagihan melakukannya. Bahkan aku tergoda sekali untuk merasakan bagaimana rasanya kalau manukku nancep (menancap) di vaginanya Bulik. Tapi tentu saja aku tidak mungkin punya keberanian sampai begitu, bagaimana nanti kalau Bulik tiba-tiba terbangun, bisa mati konyol aku!

Suatu malam aku merasakan lagi terangsang berat, tadi siang sampai 2 kali aku memutar film BF yang artisnya mirip ama wajah Bulik Tin di rumah Manto. Di luar hujan deras sekali sejak habis mahgrib tadi, padahal ini baru jam 8 malam, tetapi Bulik Tin sudah tidur di kamarnya, capek katanya. Aku duduk dengan gelisah di ruang tamu, majalah dan koran dari tadi sudah kubaca semua, bahkan kebanyakan aku tidak berkonsentrasi membacanya. Bayangan wajah dan tubuh artis BF yang mirip Bulik bergantian dengan tubuh mulus Bulik Tin terus berkelebat di otakku. Manukku makin ngaceng berat! Aku sudah tidak tahan lagi!

Segera aku membereskan koran dan majalah yang berserakan di ruang tamu, lalu aku pelan-pelan berjingkat menuju kamar Bulik Tin. Seperti biasa aku mengintip dulu ke dalam, memastikan Bulik tidur dengan nyenyak. Ternyata memang Bulik Tin sudah tertidur terlentang. Bahkan lampu kamarnya lupa dia matikan. Sengaja malam ini aku hanya memakai sarung tanpa celana dalam.

Setelah aku berada di tepian ranjang, seperti biasa aku menyingkapkan bagian dasternya ke atas, karena mungkin sudah terlatih, kini dasternya aku singkapkan hingga ke leher Bulik. Ternyata malam ini aku beruntung sekali, Bulik Tin tidak memakai apa-apa dibalik dasternya. Tubuhnya yang telanjang, putih mulus, terpampang jelas dihadapanku.

Setelah itu aku pelan-pelan menaiki ranjangnya, lalu tanganku mengatur posisi kedua kaki bulik hingga membuka lebar dengan kaki menekuk (seperti posisi orang mau melahirkan). Dengan agak menunduk, kini aku bisa melihat jelas secara keseluruhan bentuk vagina Bulik Tin. Seperti kue apem, agak montok dengan belahan di tengahnya. Aku mendekatkan wajahku disana, lalu seperti biasa, aku mulai menjilati seluruh permukaan vaginanya, bahkan kini aku memberanikan diri untuk membuka sedikit belahan vagina, dan menyapukan lidahku di dalam situ. Cairan yang aku tidak tau apa namanya, dan bau khas vagina Bulik memenuhi mulut dan hidungku, belepotan. Kini aku sudah tidak tahan lagi melihat belahan vagina yang merekah indah berkilauan karena ludah dan cairan vagina Bulik Tin. Aku mengangkat sarungku keatas, hingga manukku yang sudah ngaceng dari tadi terbebas sempurna.

Perlahan-lahan aku mengarahkan manukku di belahan vagina Bulik Tin yang sudah basah itu. Posisiku setengah berlutut dengan rendah sekali, kedua lutut kakiku melebar ke samping kanan dan kiri. Hingga posisi manukku kini persis di belahan vagina bulik. Lalu aku mulai menggesek-gesekkan manukku di belahan vagina Bulik Tin itu. Rasanya enak sekali, licin dan seperti dicucup oleh bibir vaginanya. Lama lelamaan belahan vagina itu makin melebar, kini aku bisa melihat sebuah lubang di bagian bawah belahan vagina Bulik.

Hilang sudah akal sehatku, aku benar-benar terangsang hebat! Manukku rasanya sudah ngilu menahan birahi sedari tadi. Perlahan-lahan aku berusaha menempatkan manukku di depan liang vagina Bulik Tin. Lalu kutekan pelan-pelan hingga setengah dari ‘helm baja’ku masuk di dalam liang vagina itu. Walaupun vagina Bulik sudah basah, tetapi rasanya sangat sempit, dan manukku serasa dipilin. Baru saja aku hendak meneruskan aksiku.
“Mmmm…emmm…” Tiba-tiba Bulik Tin mengecap-ngecapkan bibir di dalam tidurnya. Jatungku sempat berhenti sesaat, keringat dinginku semakin deras mengalir. Posisiku terdiam kaku dengan ‘helm’ku masih menancap separuh di lubang vaginanya. Dalam posisi seperti ini, tidak mungkin aku bisa sembunyi, secepat apapun aku bergerak, pasti Bulik memergoki aku.

Untungnya hanya sebatas itu. Bulik tidurnya benar-benar seperti orang mati, nyenyak sekali, mungkin karena kecapekan kali. Setelah beberapa saat aku kembali bernafas lega, dadaku terasa sesak, karena tanpa sadar aku menahan nafas lama. Kembali aku berkonsentrasi pada bagian bawah tubuhku. Pelan-pelan aku menekankan manukku ke liang vagina bulik, ‘helm’ku sudah masuk seluruhnya. Aku mengedip-ngedipkan mata merasakan manukku seperti dijepit dan dipilin, secara naluriah aku menarik kembali keluar manukku, gesekan antara bibir vagina dan dinding ‘helm’ku menimbulkan sensasi kenikmatan tiada terkira! Lalu dengan pelan aku kembali menekankan manukku ke lubang vagina, hanya sampai sebatas ‘helm’ yang bisa masuk, lalu kembali aku menarik keluar, suara ‘pop’ keluar dari situ. Aku kegirangan, benar-benar enak nih!

Semakin lama aku semakin tidak waspada, rasa enak disekeliling manukku mengalahkan segala-galanya! Setelah beberapa kali aku mencoba memasuk-keluarkan ‘helm’ ku di liang vagina Bulik Tin yang basah, aku merasakan kedutan-kedutan di buah zakarku, rasa ingin kencing melanda hebat seluruh selangkanganku. Aku berusaha menahan rasa ingin kencing itu, karena aku tidak mau meninggalkan ‘permainan baru’ ini walau barang sejenak.

Tetapi sekuat-kuatnya aku menahan, akhirnya bobol juga pertahananku, aku menggeram pelan, disertai denyut-denyut di manukku, lalu muncratlah sperma di sekeliling vagina Bulik Tin, agak banyak, bahkan sebagian spermaku tumpah di belahan vaginanya. Aku terengah-engah menikmati sisa-sisa kenikmatan yang melandaku barusan. Hampir saja aku jatuh ketika berusaha turun dari ranjang Bulik Tin, kakiku masih terasa lemas dan gemetaran. Cepat-cepat aku membenahi daster Bulik tanpa sempat membersihkan tumpahan spermaku, lalu aku langsung ngibrit ke kamarku sendiri.

Hujan masih sangat deras ketika aku tertidur dengan memimpikan kentu dengan Bulik Tin.

Besok paginya, ketika bulik sudah berangkat ke sekolah, aku berusaha mencari akal, bagaimana biar aku bisa kentu dengan Bulik. Pengalaman pertama, walaupun tidak bisa disebut kentu, tetapi sangat membuatku kepingin mencoba lebih jauh lagi.

Sampai Bulik Tin pulang, aku masih belum bisa menemukan caranya. Rasanya jadi jengkel sendiri. Tapi aku berpikir positif aja, bahwa masih banyak waktu untuk menemukan caranya.

Bulik Tin sudah memakai daster kesayangannya, dia berada di dapur menyiapkan lauk yang tadi dibelinya untuk makan siang untuk kita berdua. Aku hanya memandangi tubuh Bulik Tin dari belakang, sinar matahari yang menerobos genting kaca dapur, menimbulkan bayangan eksotis di tubuh Bulik Tin, daster tipisnya seakan-akan menjadi tembus pandang oleh karena sinar matahari tadi. Manukku ngaceng lagi.

“Tadi bapakmu telepon Bulik di sekolahan. Dia menanyakan kabar kita disini. Bulik jawab kalo bapakmu itu tidak usah kuatir, karena bulik masih bisa ngopeni(memelihara) kamu.” Bulik berkata sambil menyiapkan lauk-pauk di meja makan. Aku menghampirinya lalu memeluk Bulik Tin dari belakang. Manukku yang sedang ngaceng menempel erat di pinggulnya.

“Terima kasih ya lik, Lalu bapak ngomong apa lagi?” tanyaku sekedar lalu, tetapi konsentrasiku ada di bagian bawah tubuhku, dengan hanya dibatasi celana kolor, manukku terasa menempel di bagian belahan pinggul Bulik Tin. Sengaja aku agak menekan dan menggesek-gesekkan sedikit di bagian itu.
“Cuman berpesan, kalo kamu harus segera cari gawe(kerja), biar ndak ndomblong(melamun) terus ndek rumah.” Jawab Bulik Tin sambil memiringkan kepalanya menghadap ke belakang. Manukku tetap menggesek di belahan pinggulnya.

“Ndak ngomong pulangnya kapan lik?” tanyaku lagi, tanganku memeluk perutnya yang rata, lalu perlahan-lahan menggeser ke atas tepat dibagian bawah susunya.

“Lha ya ndak perlu toh tok, wong bapakmu itu kontraknya masih 3 tahun lagi lho! Napa? Emange kangen ama bapak yah?” tanya Bulik sambil tersenyum kecil, dia mengambil gelas dan ceret di meja. Kedua jempol jari tanganku sudah mengelus bagian bawah susunya.

“Iya sih lik. Walaupun gitu totok masih senang disini ama Bulik” Manukku sudah menempel tepat di bagian belahan selangkangannya.

“O ya, bapakmu juga ngomong kalo minggu depan sudah isa ngirim uang. Pesen ama Bulik kalo uange ndak boleh dibuat jajan ama kamu.” Bulik Tin cekikikan, menggodaku. Tanganku beralih ke samping susunya. Kanan dan kiri.

“Yah, kok gitu? Lagian aku apa ya pernah macem-macem kalo Bulik kasi uang? Jajan aja juga jarang kan?” sahutku pura-pura cemberut. Kedua telapak tanganku menangkup kedua sisi susu Bulik Tin.

“Iya iya, kamu emang ndak pernah jajan dan neko-neko (macam-macam). Bulik percaya kok.” Bulik Tin mungkin menyadari keganjilan pelukanku sehingga dengan halus dia melepaskan diri dan mulai duduk di kursi makan. “Dah, cepet makan tuh, bulik belikan jangan terung (sayur terung), ama tongkol goreng kesukaanmu” perintah Bulik sambil mengambil nasi untuk dirinya.

Aku juga segera duduk disebelahnya, lalu mulai mengambil nasi dan lauk-pauk, dan kami bersantap siang bersama. Manukku masih ngaceng.

****

Malam harinya hujan turun deras sekali, padahal ini malam minggu, hawanya pun dingin menggigit. Sesudah makan, Bulik Tin sekarang lagi asyik-asyiknya setengah tiduran (punggungnya bersandar di bantal yang disenderkan ke tembok) di matras sambil nonton sinetron di TV, aku juga ikutan tiduran di sebelahnya, pura-pura ikut nonton sinetron, padahal ndak mudeng sama sekali, karena memang dari dulu aku tidak suka sama sekali ama yang namanya sinetron. Tujuan utamaku hanyalah ingin sedekat mungkin dengan tubuh Bulik yang wangi itu. Malam itu sengaja aku telanjang dada dan hanya memakai sarung tanpa celana dalam. Kadang-kadang jika TV lagi menayangkan iklan, Bulik bercerita tentang kegiatannya di sekolah tempat dia mengajar, tentang murid-muridnya, pokoknya macem-macem deh. Tapi kalo sinetronnya sudah mulai lagi, maka dapat dipastikan Bulik Tin bakalan terpaku dan begitu menghayati isi ceritanya.

“Tadi ada salah satu rekan guru Bulik bercerita kejadian yang lucu” Bulik mulai bercerita ketika jeda iklan. Aku sengaja makin merapat dan setengah memeluk tubuh Bulik Tin.

“Nah, dia itu punya tetangga, juragan sapi di desanya, suatu hari ada bule ke rumahnya dia, ternyata tanpa sengaja tahu kalau di pojok halaman belakangnya dia tumbuh tanaman hias, itu loh…apa ya namanya… “(bulik mengerutkan kening tanda berusaha mengingat-ingat). Aku makin merapatkan tubuhku ke tubuh Bulik dengan lagak serius mendengar ceritanya

“…o ya, jenmani atau jemani gitu loh, pokoknya tanaman hias yg lagi ngetren sekarang itu loh.” Akhirnya Bulik bisa juga mengingatnya. Aku menyandarkan kepalaku di atas dada Bulik, tanganku yang sebelah kanan memeluk perutnya. Kain dasternya yang halus serasa membelai pipiku.

“Nah ceritanya, si bule ini menawarkan harga sekitar 300 jutaan buat tanaman itu, ternyata secara tidak sengaja tanaman hias tadi tumbuh dengan indahnya dan dengan bentuk daun yang sempurna, makanya si bule berani beli dengan harga segitu.” Secara alamiah (karena tertindih tubuhku) tangan Bulik Tin merangkulku dan membelai-belai lengan kananku. Tanganku sendiri mengelus-elus lembut perut Bulik.

“Si juragan sapi ini girang, tetapi dia masih belum mau melepaskan tanaman itu, dia sengaja minta waktu untuk berpikir lagi, dan si bule pun juga setuju.” Bulik Tin meneruskan ceritanya sambil sekali-kali menciumi rambutku yang tebal. Mungkin suka bau shampoo yang aku buat keramas tadi sore. Sebetulnya itu biasa saja, karena Bulik dari dulu memang begitu, tetapi aku semakin hanyut dan jantungku makin berdegup kencang. Aku teringat lagi pemain BF yang wajahnya mirip ama Bulik Tin.

“Setelah banyak bertanya dan mendapatkan informasi, maka tahulah nilai tanaman si juragan sapi ini ternyata harganya bisa mencapai 400 jutaan. Lalu juragan sapi ini menghubungi segera kenalan bulenya tadi. Ganti bule itu yang minta waktu berpikir kira-kira 2 harian.” Ga biasanya Bulik terus bercerita, padahal jeda iklan sudah selesai, dan sinetron sudah mulai lagi. Aku menurunkan kepalaku sedikit, hingga posisinya kini diatas susu Bulik Tin yang sebelah kanan, dalam hati aku bersorak girang karena dibalik dasternya seperti biasa, Bulik memang tidak memakai BHnya. Rasa kenyal susu Bulik Tin menmanjakan pipiku sekarang.

“Tahu ga tok? Si bule sudah sepakat setuju membayar dengan harga segitu, malam hari sebelum besoknya si bule bakal melakukan transaksi, ternyata beberapa sapi di kandang si juragan itu ternyata lepas, pagi harinya si juragan sapi baru tahu, kalo sapi-sapinya itu telah makan daun tanaman hiasnya hingga habis!” Bulik Tin berhenti sebentar sambil terkikik geli, aku juga mau tidak mau tertawa kecil.

“ Bayangkan! 400 juta habis dalam semalam karena dimakan sapi!” Bulik Tin kini tertawa lepas, dadanya berguncang, membuatku makin terangsang.

“Lah terus juragan sapi ama bulenya gimana dong lik?” Tanyaku. Aku menoleh ke atas, memandang wajah Bulik. Tanganku bergeser kebawah, hampir diatas vaginanya.

“Nah itu dia tok! Si juragan sapi ini akhirnya jadi stress dan gila, sapi-sapinya bahkan dia bunuhi dengan cangkul!” Bulik berkata sambil begidik ngeri.

“Benar-benar lucu sekaligus kasihan yah” kataku lagi. Bulik mengecup keningku dengan sayang.

“Makanya tok, uang bisa bikin kita terlena bahkan sampai bisa gila gitu juga karena uang!” Bulik Tin melanjutkan sambil menarik nafas panjang. Kini perhatiannya tercurah lagi pada layar televisi. Perhatianku kembali teralih pada tubuh Bulik. Tanganku berhati-hati mengelus-elus dengan pelan bagian atas vaginanya, sedangkan kepalaku juga sedikit bergerak-gerak untuk mendapatkan kekenyalan dari susunya. Sungguh sensasi erotis tersendiri.

Bulik Tin menggeser posisinya agak menyamping, mungkin karena agak pegal karena bagian tubuh kanannya tertindih oleh tubuhku. Tapi ini semakin menggembirakan diriku, karena kini posisi Bulik Tin agak menyamping berhadapan denganku. Walaupun kini kepalaku menyandar di bantal, tetapi tepat dihadapan wajahku adalah kedua susu Bulik Tin. Sedangkan tanganku kini berada di pinggulnya. Pelahan-lahan, aku menggeserkan kepalaku hingga sebagian mukaku menempel ke susunya Bulik. Bahkan tonjolan putingnya juga dapat kurasakan menyentuh kulit mukaku.

Hampir saja aku tergoda untuk menjilati puting susunya yang masih berada di balik daster. Untung saja aku dapat menahan diri untuk tidak mencobanya. Padahal tinggal aku menjulurkan lidah, maka puting susunya pasti dapat kusentuh dengan lidahku.

Tanganku yang sebelah kanan beralih ke atas dengan posisi menekuk hingga menyentuh susu bulik yang sebelah kiri. Dengan begini Bulik tidak curiga kalo aku sengaja menempatkan tanganku di susunya, karena dalam posisi seperti ini bulik mungkin berpikir kalau aku hanya memeluk manja saja. Tapi dengan sangat hati-hati aku melebarkan telapak tanganku hingga menangkup susu bulik yang sebelah kiri. Dengan sengaja aku menguap tanda mengantuk, supaya nanti Bulik mengira kalau aku memang tertidur.

Walaupun tidak direncanakan, karena gerakan tadi ternyata tali daster Bulik Tin yang sebelah kanan agak melorot, sehingga bagian atas susu sebelah kanannya kini terbuka dan bersentuhan dengan pipiku langsung. Dalam hati aku benar-benar senang sekali! Rasa hangat dan halusnya kulit susu Bulik Tin membuat birahiku makin naik.

Kini perlahan-lahan dengan daguku aku menggeser tepian daster bagian atas sebelah kanan kebawah, cukup pelan hingga Bulik tidak curiga dengan gerakanku. Kini puting susunya yang kecoklatan sudah terlihat , dan menyentuh daguku langsung. Mungkin karena hawa dingin, puting susu Bulik Tin tampak mengacung indah. Aku meneguk ludah ketika melirik ke bawah, sungguh pemandangan yang indah bagiku!

Sengaja aku mengeluarkan dengkur halus, supaya Bulik benar-benar mengira aku sudah tertidur. Aku menggeserkan kepalaku kebawah dengan pelan hingga kini puting susu sebalah kanan tepat di permukaan bibirku. Sejenak aku merasakan degup jantungku semakin berdebar kencang. Kurasakan gerakan pelan dada Bulik yang menarik nafas, sinetron di TV terus berlanjut.
Kugerakkan bibirku perlahan hingga puting susu Bulik yang mungil itu terletak diantara kedua belahan bibirku. Sampai disini aku terdiam, bingung untuk melakukan langkah selanjutnya, bukan tidak mungkin lama-kelamaan Bulik curiga dengan semua tingkahku. Lama aku dalam keadaan seperti ini hingga akhirnya akal sehatku sudah kalah oleh nafsu birahiku yang sudah memuncak. Perlahan-lahan aku membuka mulutku dan memasukkan puting mungil itu kedalam mulutku.

Benar saja, kelihatannya Bulik agak kaget, sehingga agak menggeser tubuhnya. Aku diam, sambil memjamkan mata, berpura-pura tertidur. Tidak ada reaksi selanjutnya dari Bulik Tin. Aku menebak-nebak, mungkin dia kembali mengikuti sinetron yang ada di TV.

Hampir saja aku meloncat kaget (untung saja aku menyadari kalau aku sedang berpura-pura tertidur). Tangan Bulik menyentuh pelan manukku yang memang sudah ngaceng dari tadi. Aku berusaha membuka mata sedikit untuk melihat kebawah. Waduh! Pantes saja, dengan hanya memakai sarung dan tidak memakai celana dalam, otomatis manukku yang ngaceng itu menyembul tegak dibalik sarungku itu. Pasti Bulik juga mengetahui hal itu.

Samar-samar aku melihat tangan bulik yang kelihatan ragu-ragu menyentuh tonjolan di sarungku. Lalu kemudian dengan pelan sekali aku melihat Bulik menggenggam manukku yang masih terbungkus sarung, mungkin dia masih mengira aku tertidur. Tidak sekedar menggenggam saja kelihatanya, dia mulai mengelus-elus pelan manukku! Perasaanku saat itu tidak karuan. Ini baru pertama kalinya manukku disentuh oleh seorang wanita. Walaupun masih dibatasi dengan kain sarung, tetapi aku sudah membayangkan halusnya tangan Bulik Tin itu.

Aku kembali kecewa lagi, ternyata hanya sekejab saja Bulik menyentuh manukku itu. Tetapi aku tahu, lewat desahan nafasnya, dan gerakan di dadanya, kalau Bulik sebenarnya tergoda untuk melakukan lebih jauh. Aku kini sengaja menempelkan lagi bibirku di puting susunya. Tidak ada reaksi penolakan, aku kembali membuka bibirku dan memasukkan puting susunya di mulutku. Bulik diam saja. Tanganku kini makin berani, agak meremas lembut di susunya sebelah kiri. Kurasakan putingnya di telapak tanganku, hanya dibatasi oleh kain daster. Sinetron di TV masih memainkan perannya, demikian juga aku.

“Tok…tok?” Kudengar suara Bulik pelan memanggil namaku. Aku diam saja, biar dia mengira kalau aku memang benar-benar sudah tertidur. Tak lama kemudian kembali Bulik Tin memanggil namaku.

“Tok…tok?” sambil menyentuh pelan lenganku. “Wes turu tenan koyok’e”(dah tidur kayanya), kudengar Bulik bergumam sendiri.

Tak lama kemudian Bulik menggeserkan badannya, kini dia dalam posisi duduk, dari tempatku aku hanya bisa melihat punggungnya. Agak gelisah kelihatannya, terlihat dari menggeser-geser pantat di posisi duduknya. Walaupun mataku setengah terpejam, samar-samar aku masih bisa melihat seluruh gerakannya. Dia melihatku sebentar, mungkin untuk memastikan kalau aku memang benar-benar sudah tertidur. Posisiku kini terlentang, sehingga tonjolan di sarungku terlihat jelas oleh Bulik Tin.

Tangannya perlahan-lahan menyentuh tepian bawah sarungku. Ada keragu-raguan sebentar disana, Bulik kembali menoleh kearahku. Lalu perlahan dia menyibakkan sarungku keatas. Hawa dingin langsung membelai paha dan selangkanganku. Kini manukku terbuka seluruhnya. Bulik Tin terlihat agak kaget dengan ukuran manukku yang sedang ngaceng. Dia menoleh lagi ke arahku. Setelah dirasanya aman, aku melihat Bulik Tin dengan ragu-ragu memandangi seluruh bentuk dari manukku. Tanpa disangka-sangka dia pun mulai menggenggam dengan lembut. Aku menggelinjang pelan, rasa dingin dan kehalusan telapak tangan Bulik Tin menyentuh kulit manukku.

Tak dapat dilukiskan bagaimana perasaanku ketika tangan bulik pelan-pelan melakukan gerakan mengocok manukku. Kini tangan Bulik yang satunya juga membelai-belai buah zakarku. Sungguh mati, apabila tidak dalam keadaan berpura-pura begini, aku sudah berteriak keenakan.

Tanpa sadar aku menggerak-gerakkan pinggulku mengikuti irama kocokan Bulik. Agak lama Bulik akhirnya sadar kalau gerakanku tidak wajar. Secepat kilat dia melepaskan genggamannya dan menutup sarungku kembali. Lalu dia mengalihkan perhatiannya di sinetron TV lagi. Bulik kembali merebahkan diri di sampingku.

Aku merasakan nafas Bulik Tin yang tidak teratur di rambutku, dadanya naik turun siiring dengan tarikan nafasnya, cepat. Aku kembali berpura-pura menggeliat dan kembali memeluk tubuh Bulik Tin. Kini Bulik Tin sengaja memiringkan badannya berhadapan denganku, seperti posisi pertama tadi, kedua susu Bulik tepat dihadapan wajahku. Manukku tepat diantara kedua belahan pahanya.

Aku merapatkan kepalaku di susu Bulik, entah sengaja atau tidak, kini belahan daster yang bagian atas makin melorot sehingga hampir separuh kedua susunya terlihat olehku. Aku kembali menempelkan pipiku di permukaan kulit susu Bulik yang sebelah kanan, rasanya halus dan hangat. Aku juga menyadari nafasku juga semakin memburu. Tetapi aku berusaha untuk bersabar. Belum waktunya.

Dengan gerakan kecil bibirku kembali mendaptkan puting susu Bulik Tin. Kali ini Tidak ada reaksi dari Bulik Tin. Dia diam saja membiarkan bibirku kembali mengemut puting susunya. Aku merasakan tangan Bulik meremasi rambutku, nafasnya makin tidak teratur ketika aku pelan-pelan mulai mencucup puting susunya.

“Tok….tok…? Kembali Bulik memanggil namaku, suaranya terdengar agak serak. Aku diam saja, kini aku sudah berani menggunakan lidahku menari-nari disekeliling puting susunya Bulik yang ada didalam mulutku. Tangan Bulik yang sebelah kanan meremas-remas lenganku dengan gelisah. Bahasa tubuhnya mengisyaratkan dia sudah terangsang.

Aku menggeser sedikit pinggulku sehingga manukku berada tepat disebelah bawah daerah selangkangannya. Kurapatkan sedikit di belahan pahanya, tidak kusangka Bulik Tin malah menumpangkan pahanya diatas pahaku. Tanganku sendiri juga tidak tinggal diam , dengan gerakan pelan aku memilin-milin puting susu sebelah kiri dibalik dasternya. Bulik bereaksi, tubuhnya sesaat menegang, lalu bergerak-gerak dengan gelisah.

Tangan kiri Bulik meluncur kebawah, dengan agak ragu-ragu dia menggenggam tonjolan di sarungku, setengah mengelus. Kini aku sudah tidak bisa berpura-pura lagi, sitasi semacam ini membuat birahiku makin naik tinggi. Aku mengerang pelan, merasakan kenikmatan elusan tangan Bulik. Entah apa yang sudah merasuki pikiran Bulik Tin, dengan berani dia menyibakkan sarungku keatas sehingga dia leluasa untuk menggenggam langsung manukku. Aku semakin berani, kini mulutku tidak berpura-pura lagi, aku sudah menjilati dan menyedot puting susu mungil Bulik, sementara tanganku kini meremas-remas lembut susu Bulik yang satunya. Sinetron di TV sudah tidak menarik lagi.

Bulik tanpa sadar mengerang lembut, dia mungkin juga sudah menyadari kalau aku tidak tertidur lagi. Tetapi Bulik Tin juga diam saja, seakan-akan menyetujui semua perlakuanku. Kini mataku sudah terbuka seutuhnya, gerakan tanganku sudah tidak pura-pura lagi, tetapi sudah mulai berani menarik turun tali daster Bulik Tin, hingga kedua susunya terlihat seutuhnya. Bulik Tin sudah sepenuhnya merebahkan diri di matras, sedangkan aku berusaha mengikuti gerakannya agar puting susunya tidak terlepas dari mulutku.

Mata Bulik terpejam, sedangkan mulutnya setengah terbuka, aku beralih ke puting susu sebelah kiri. Sedangkan tanganku kini berusaha menyibakkan dasternya dari bawah.
“Ehmm…mmm….tok….mmm…” erang Bulik. Bunyi kecupan dan kecipak ludahku di puting susunya seakan menyatu dengan irama nafas kami berdua.

Tanganku sudah berhasil menyibakkan dasternya hingga ke perut, lalu segera beralih ke celana dalamnya. Barus saja kupelorotkan hingga ke paha, tiba-tiba tubuh Bulik menegang.
“Tok! Ojok le (jangan nak)…!! Aku Bulikmu….!!!” Bulik akhirnya menyadarinya. Dengan tergesa dia membenahi pakaiannya, belum sempat dia membetulkan celana dalam tanganku menahannya.
“Bulik, kenapa? Totok sayang sama Bulik” ceracauku bingung mau ngomong apa. Bulik menggeleng lemah.
“Ojok le…ini salah! Aku masih Bulikmu!” matanya sayu, entah menyesal atau masih dalam keadaan terangsang.
“Memangnya kenapa lik? Bulik ndak sayang sama Totok ya?” jawabku gemetar. Tangan kananku masih mmegang celana dalamnya yang sudah melorot.
“Bukan begitu tok! Bulik sayang banget sama kamu, tapi bukan begini caranya!” suaranya bergetar ketika menjawab. Tanpa membetulkan celananya Bulik memelukku erat.
“Tapi Bulik juga ingin kan?” Tanyaku masih bingung. “Aku sayang sama Bulik!” tanganku kembali menurunkan tali dasternya.

Bulik menepis tangan kiriku yang sudah menurunkan tali dasternya hingga kedua susunya kembali terlihat. Tangan kananku beralih ke vaginanya, jariku langsung mengelus-elus klitorisnya (ini aku juga tau dari Manto). Bulik sekejap terhenyak kaget, seluruh tubuhnya gemetar, mungkin karena lama dia tidak merasakan sentuhan seorang lelaki, dengan mudah birahinya kembali naik. Tapi hanya sesaat, tangan Bulik memegang tanganku menahan jariku untuk bermain lebih lanjut di klitorisnya, reflek aku kembali mengemut puting susunya.
“Sudah Tok….jangan…..” Bulik mengerang, tetapi tidak berusaha menahan kepalaku. Bulik kembali kurabahkan tubuhnya di matras, jari tangan kananku kembali mengelus-elus klitorisnya. Tubuh Bulik semakin gemetaran, mengejang hebat. Merasa mendapat lampu hijau aku berusaha melepaskan celana dalam Bulik. Kali ini tidak ada perlawanan.

Aku kembali lagi menikmati kedua puting susu Bulik Tin, sementara tanganku terus mengobok-obok vaginanya yang sudah mulai basah.
“Tok….bulik….ehm……mmmmm” Bulik memejamkan matanya, mulutnya tanpa sadar mengeluarkan desahan. Hujan deras dan hawa dingin tidak mampu menghilangkan hawa panas diantara kami.

Suara kecipak di vaginanya menandakan kalau Bulik benar-benar terangsang hebat, degup jantung dan nafasnya sudah tidak teratur. Hal yang sama juga terjadi padaku, birahiku melayang tinggi. Pelahan-lahan aku menurunkan keplaku sambil terus menjilati seluruh permukan perut Bulik, hingga akhirnya kepalaku berhadapan dengan vaginanya.
“Tok…mau apa…aaahhhhhh….sssssshhhh…” Bulik tidak sanggup meneruskan kalimatnya, karena lidahku sudah menjilati klitorisnya. Aku berusaha mempraktekkan apa saja yang aku lihat waktu aku sering nonton BF di rumahnya si Manto. Tidak sekedar menjilati saja, kini klitorisnya aku sedot juga, lalu bergantian dengan lidahku yang keluar masuk di liang vaginanya yang masih tertutup. Lidahku berusaha menyibakkan liang kenikmatan milik Bulik Tin.

Bulik Tin makin menggelinjang ketika lidahku menguak liang vaginanya, sengaja aku permainkan lidahku di daerah situ, kutekuk lidahku keatas sambil sesekali kuputar dengan gerakan kepalaku. Vagina Bulik semakin membanjir. Tanpa sadar kedua tangan Bulik meremas-remas rambutku dengan gemas, aku tidak memperdulikan hal tersebut, kedua tanganku juga melakukan gerakan-gerakan mengelus halus di paha bawah, lalu menuju keatas dengan memutar hingga ke paha bagian dalam

Setelah puas bermain di vaginanya, aku segera memposisikan diri, sarungku kulepas dengan tergesa sehingga kini aku telanjang bulat. Aku mengambil posisi setengah berlutut, dengan kakiku terbentang lebar, dan kedua kaki Bulik Tin aku posisikan menekuk (seperti orang mau melahirkan) Manukku sudah tepat di depan vaginanya, aku menekan lembut di liang vagina Bulik.
“Tok…jangan tok…!! Sudah cukup…!!” Dengan panik Bulik hendak bangkit dari tidurnya, tetapi terlambat, manukku sudah mulai menyeruak liang vaginanya, kini tidak hanya sebatas ‘helm’nya saja, tetapi aku pelahan-lahan menekan masuk ke dalam liang vaginanya.
“Errrghhh….mmmmm…pelan-pelan…tok……” Bulik Tin kembali pasrah, tubuhnya kembali berbaring di matras. Tidak kupedulikan rasa terpilin, dan agak perih di kulit manukku. Sempit! Dengan hati-hati aku kembali menekan masuk di liang vaginanya. Sudah setengahnya masuk. Vagina Bulik semakin basah, tetapi aku merasakan liangnya terlalu sempit untuk kumasuki. Aku kembali menarik keluar dan berusaha menekan kembali ke dalam liang. Erangan Bulik Tin terdengar erotis di telingaku, kedua tangannya meremasi matras dibawah sedangkan kepalanya sesekali menggeleng-geleng pasrah.

Setelah beberapa kali berusaha mencoba, akhirnya manukku berhasil terbenam seluruhnya di dalam vagina Bulik Tin, bahkan masih ada bagian di pangkalnya yang masih ada di luar. Tidak bisa masuk lagi alias mentok. Aku berdiam sejenak setelah perjuanganku barusan, keringatku bercucuran, kuresapi kedutan-kedutan di seluruh dinding vagina Bulik. Setelah menyesuaikan diri sejenak, dengan alamiah aku mulai memaju mundurkan pinggulku, sehingga dinding-dinding alat kelamin kami saling bergesekan. Akhirnya aku kentu dengan Bulik Tin!

Bunyi kecipak alat kelamin kami yang saling beradu seirama dengan kedua nafas kami yang memburu. Kedua tanganku menekan paha Bulik sehingga menempel di perutnya, dengan begini vaginanya bisa leluasa menerima sodokanku. Ya tuhan! Aku terasa melayang-layang, manukku terasa diremas-remas dan dipilin dengan lembut. Seperti minyak urut, cairan vaginanya membasahi, dan dinding vaginanya mengurut-urut manukku. Rasanya benar-benar seperti terbang ke langit!

Keadaan Bulik Tin juga tidak jauh beda denganku, matanya merem melek dan bibirnya tak henti-hentinya mengeluarkan desahan berganti dengan erangan-erangan seperti sebuah simfoni yang berpadu dengan gerakan dan bunyi kecipak di vaginanya.

Aku tidak bisa menahan diri lagi, makin kupercepat gerakanku, semakin bertambah nikmat yang kurasakan. Sekeliling daerah selangkangku terasa geli-geli enak dan itu menjalari seluruh tubuhku! Aku seakan-akan tidak mau menghentikan rasa senikmat ini! Terlalu nikmat malah! Syaraf-syarafku yang lain serasa mati rasa, dan otakku hanya berkonsentrasi dengan rasa nikmat yang baru pertama kali ini kurasakan!

Aku memandang Bulik dengan penuh rasa sayang. Mata kami bertatapan penuh arti, sinar hangat dari matanya yang sendu seakan berbicara ‘aku sayang kamu!’ Bibirnya setengah terbuka, mengeluarkan erangan-erangan yang menggairahkan. Kupercepat gerakanku, kami terus bertatapan, perasaanku sudah tidak dapat dilukiskan lagi! Rasa nikmat, rasa sayang bercampur baur jadi satu. Baru kali ini tatapan mata Bulik Tin seakan menembus seluruh jantungku!
“Sssshhh…..aaaaaaahhh…..rrrrr….” Bulik Tin menggeram hebat.
Tubuh Bulik Tin mengejang, sesaat vaginanya berkontraksi meremas manukku. Orgasme pertamanya.

Bagaimanapun juga aku mempertahankan desakan di buah zakarku, tetap saja aku tidak kuasa menahan gelombang orgasme yang juga melanda ku. Tidak sampai semenit setelah Bulik Tin mengalami orgasmenya, ganti aku yang mengalami sensasi terindah itu!

Tubuhku mengejang hebat, mataku seakan terbalik keatas, aku kehilangan kendali atas syaraf-syarafku. Manukku berkedut-kedut menyemprotkan sperma di liang vagina Bulik Tin! Cukup banyak hingga sebagian tumpah di bibir vaginanya.

Tubuhku melemas sesaat setelah mengalami kejadian yang menakjubkan ini! Aku merebahkan diri disamping Bulik Tin. Beberapa saat lamanya tidak ada suara yang keluar. Hanya desahan nafas kami yang tersengal-sengal. Kami masih meresapi puncak kenikmatan yang baru diraih. Walaupun udara cukup dingin dan hujan diluar tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti, tubuh kami terasa panas dan berpeluh.

Aku memeluk Bulik Tin sambil mengecup pipinya dengan sayang. Bulik Tin hanya memejamkan matanya dan mengelus-elus dadaku. Sesaat kemudian dia kembali tersenyum
“Kamu bener-bener nakal tok!” Suaranya masih terdengar serak.
“Tapi Bulik suka kan?” kataku membela diri. Bulik Tin hanya tersenyum, tanpa menjawab, dia melumat bibirku, tangannya pelan mencubit manukku.
“Aku sayang sama Bulik! Sayang sekali!” aku berkata sambil memeluk tubuhnya.
“Bulik juga sayang sama kamu…” Jawab Bulik Tin, tangannya tetap mengelus-elus manukku yang sudah melemas.

Malam itu hujan tidak mau berhenti, semakin larut semakin deras saja, demikian juga aku dan Bulik Tin, serasa tidak ada hari esok, kami melakukan berkali-kali hingga fajar menyingsing.

Entah berapa lama aku tertidur, ketika bangun sendi-sendiku terasa mau copot. Masih di matras di muka TV. Bulik sudah tidak ada. Aku menengok ke jam dinding, sudah hampir jam 12 siang! Aku kembali tersenyum-senyum sendiri mengingat pengalaman hebat semalam. Aku bisa kentu sama Bulik Tin!

Segera aku bangkit berdiri, mencari Bulikku tercinta. Setelah beberapa saat lamanya, ternyata aku menyadari kalau Bulik sudah keluar rumah. Aku segera membersihkan diri di kamar mandi, perutkupun terasa lapar.

Sehabis mandi, aku menengok meja makan, hanya ada separuh telur dadar dan 1 tempe goreng. Karena lapar, aku segera mengambil nasi dan menyantap dengan lauk seadanya.

Barus saja aku selesai makan, terdengar suar pintu depan dibuka kuncinya dan kembali menutup. Segera aku bangkit berdiri lalu menyambut Bulik Tin yang sudah masuk ke dalam rumah.
“Nah, pasti baru bangun ya!” Bulik Tin menyambut ciumanku di bibirnya. Dengan langkah terpincang dia meletakkan tas belanjaannya.
“Dari mana lik?” Tanyaku sambil membantu membawakan tas belanjaannya ke dapur.Bluefame.com
“Belanja sekalian beli Bulik beli pil KB di kota tadi. Dasar tidak nyadar apa yang barusan kemaren malam kamu lakukan ama Bulik? Untung bukan pas masa suburnya Bulik.” jawab Bulik Tin sambil menaruh tasnya di meja.

Aku tersenyum, memang kemarin tanpa perencanaan apapun, aku tanpa sadar menyemprotkan spermaku di rahimnya. Untung Bulik segera menyadari dan membeli alat kontrasepsi.
“Sudah makan apa belum kamu tok?” Bulik berjalan tertatih menuju ke dapur.
“Sudah Bulik, tadi sama sisa telur dadar dan tempe” Jawabku. Bulik terkekeh, sambil mengeluarkan barang-barang belanjaannya.
“Bisa kenyang kamu?” Bulik bertanya sambil tertawa kecil. Karena Bulik tau kalau porsi makanku termasuk banyak.
“Kenyang ndak kenyang, wong adanya ya itu.” Kupeluk tubuh Bulik Tin dari belakang, kucium lebut bagian belakang lehernya. Bulik Tin sedikit menggelinjang. Tanganku meremas kedua susunya yang masih terbungkus kaus.
“Shh….Tok…sudah, Bulik kan juga capek…” Bulik menggeliat menghindari ciuman-ciumanku. Aku tidak menyerah, kususupkan satu tanganku dibalik kausnya, satunya lagi merogoh lewat bawah roknya. Dengan sekali sentak, celana dalamnya sudah melorot kebawah. Bulik menggeliat, menghindari, tetapi aku tau Bulik tidak berniat menghindar beneran. Agak tertatih Bulik menuju meja makan, dengan cepat kusibakkan roknya, celanaku sudah kupelorotkan hingga manukku sudah terbebas,

Kutekan punggung Bulik kedepan sehingga mau tidak mau dia menunduk, dadanya menekan meja makan. Kini pinggulnya yang telanjang terbuka bebas. Vaginanya merah merekah mengundang. Kugesek-gesekan manukku di belahan vaginanya, hingga tegang sempurna.Bluefame.com
“Ehmmm….mmm….” Bulik mendesah ketika ‘helm’ ku sengaja menggesek-gesekan belahan vagina dan klitorisnya. Walaupun liang vagina Bulik Tin sebenarnya sudah basah, sengaja aku tidak segera melakukan penetrasi, kumasukkan sedikit ‘helm’ ku lalu kukeluarkan lagi. ‘Plop!’ begitu bunyinya ketika kutarik dari liang vaginanya. Berkali-kali kuulangi gerakan itu, rasanya enak!
“Shh…udah tok…..ayo…toh…” erang Bulik Tin. Aku juga tidak bisa menahan birahi lebih lama lagi. Kulesakkan manukku ke dalam liang vaginanya, tidak berubah, masih sempit dan nikmat! Aku mulai memaju mundurkan pinggulku membentuk irama diiringi kecipak cairan vagina Bulik. Sinar matahari siang yang menembus genting kaca dapur menambah eksotisnya suasana.

Tubuh Bulik Tin berguncang-guncang ketika aku mempercepat gerakanku, Aku mengejap-kejapkan mata karena vagina Bulik seakan-akan mengurut-urut lembut seluruh batangku, rasa nikmat mengalir terus di dalam darahku.

Bulik mengerang panjang tanda dia sudah mencapai orgasme pertamanya. Aku tidak memperlambat tempo kocokanku, kontraksi orgasme di vagina Bulik Tin semakin menambah nikmat ketika aku menyodokkan manukku. Seluruh konsentrasiku tercurah pada daerah selakanganku ini. Rasanya sungguh tak terkira….!!! Manukku seakan-akan memenuhi seluruh liang vagina Bulik Tin, sementara dinding-dinding vaginanya memberikan respon dengan memijat seluruh urat-urat syaraf di batangnya.

Beberapa saat kemudian, tanpa dapat dibendung lagi, akhirnya jebolah pertahanaku. Aku menggeram keras sambil menyemprotkan berjuta-juta sel sperma ke rahim Bulikku. Manukku berkedut-kedut seakan tidak henti memutahkan cairan kenikmatan itu. Kudiamkan manukku tetap didalam liang vagina Bulik, pelan-pelan cairan sperma yang tidak muat di dalam liang vagina, menetes keluar. Aku menghela nafas panjang menikmati sisa-sisa orgasmeku. Akhirnya kucabut juga manukku dari vagina Bulik. ‘PLOP’ begitu bunyinya ketika akhirnya ‘helm’ku berhasil keluar dari liang kenikmatan itu. Bulik Tin tetap tengkurap di meja makan, nafasnya masih tersengal-sengal, kakinya juga masih gemetaran sisa-sisa dari orgasme hebat yang baru dia peroleh.
“Bulik, aku sayang banget sama bulik!” kupeluk tubuhnya dari belakang, kukecup tengkuknya yang mengkilat karena berkeringat. Bulik hanya memejamkan mata sambil tersenyum, tangannya meraih rambutku yang diacak-acak dengan perasaan sayang.
“Bulik juga sayang sama kamu!” Jawabnya singkat.“Ugh…” Aku melenguh ketika manukku untuk yang kesekian kalinya masuk ke vagina Bulik Tin.

Wajah Bulik tampak kemerahan ketika kami sama-sama mulai menggerakkan tubuh, berusaha mencapai puncak kepuasan.

Ditengah asiknya aku menggerakkan pinggulku, tiba-tiba terdengar dering telepon di ruang tengah.
“Bentar tok…uh…..ada telepon tuh…” Bulik mendorong tubuhku yang sedang berada diatas tubuhnya untuk bangkit berdiri. Aku setengah protes, karena sedikit lagi aku sudah akan keluar..

Tapi dasar Bulik Tin, sambil tersenyum nakal dia sengaja menggoyangkan pinggulnya sebentar sebelum melepaskan manukku dari vaginanya. Sambil bangkit berdiri dia juga sempat ngedumel “Siapa telp jam setengah satu malam seperti ini”

Aku pun hampir menggerutu, tapi sebelum sempat keluar kata-kata dari mulutku bulik Tin menempelkan jarinya di bibirku sambil tersenyum manis “Nanti ya dilanjut lagi, sopo ngerti ki telepon penting” Dia lalu bangkit berdiri terpincang menuju ke ruang tengah dengan tubuh masih telanjang bulat.

Aku menghembuskan nafas panjang, kalah dah kalo bulik sudah memberikan senyumnya yang manis itu. Dengan terseok aku mengambil sandal jepitku dan menyusul bulik di ruang tengah.

Di ruang tengah tampak bulik bediri di dekat kursi sambil menerima telepon. Dan memang tampaknya telepon tersebut penting, terlihat dari wajah bulik yang serius.
Jawaban-jawaban singkat keluar dari bibir bulik, ketika menjawab telepon tersebut. Dia melirik ke arahku sebentar, lalu mengisyaratkan agar aku jangan bertanya dulu. Aku terdiam saja sambil memperhatikan tubuh bulik yang telanjang dan berkilau karena keringat. Timbul niat isengku, perlahan aku menuju belakang tubuh bulik Tin yang memang agak setengah menungging karena posisi telepon yang lebih rendah dari tubuhnya.

Aku tersenyum nakal ketika kuarahkan manukku menuju lubang vagina bulik yang masih basah bekas persetubuhan kami barusan. Baru saja ‘helm’ manukku yang masuk ke dalam liang hangat vagina bulik, tangan bulik menepis halus sambil mendelik mengisyaratkan supaya aku diam.

Rodok mangkel(agak jengkel) karena hasrat yang belum tuntas aku menghempaskan diri di sofa di sebelah meja telepon. Bulik melirik ke arahku, lalu tatapannya beralih ke manukku yang masih ngaceng sekeras baja. Dia setengah menahan senyum, sambil masih meneruskan percakapannya di telepon, tubuhnya bergeser sedikit lalu, menghempaskan pinggulnya duduk disebelahku. Tangan kanannya mengelus-elus dan mengocok perlahan manukku sementara tangan kirinya masih memegang gagang telepon.

Aku meposisikan diri agar lebih rileks dan agar bulik lebih mudah mengocok manukku, tanganku mengelus-elus susunya, dan mempermainkan putingnya
“….nggih, lah opo ngomong mbek Totok dewe?” Kata bulik di telepon, lalu mengangsurkan gagang teleponnya ke arahku sambil mulutnya berbisik “bapakmu”

Aku jadi bertanya-tanya sambil menerima gagang telepon yang diangsurkan bulik padaku
“Ya pak?”

Suara bapakku diseberang sana langsung menyambung dengan cerita, bahwa besok sore akan datang adik bapak, bulik Lasmi dengan kedua putri kembarnya. Bapak minta agar aku ikut menjaga mereka sementara mereka akan tinggal sementara disini.

Aku terdiam berusaha megingat–ingat, bulik Lasmi adalah adik bapak yang tinggal di Jakarta, menikah dengan orang Amerika, dan mempunyai kedua putri kembar yang kira-kira seumuran denganku. Bulik Lasmi mungkin berumur sekitar 36 tahun dan putri kembarnya seumuran denganku. Mereka bernama Sinta dan Yasmin

Sudah lama bulik Lasmi sekeluarga berada di Jakarta, dan jarang sekali berhubungan dengan keluarga lainnya dikarenakan kesibukan suaminya yang sering ke luar negeri untuk berbisnis. Maka dari itu aku juga sudah lama sekali tidak pernah ketemu dengannya dan kedua anaknya.

Bapak meneruskan ceritanya jika sebenarnya bulik Lasmi sudah bercerai beberapa bulan yang lalu dikarenakan suaminya yang kawin lagi dengan wanita lain dan kembali ke Amerika, hanya saja bulik Lasmi baru berani bercerita kepada bapak kemarin karena dia sudah tidak bekerja dan tabungannya sudah menipis. Kedua anak kembarnya pun batal untuk masuk universitas karena perceraian kedua orang tuanya.

Akhirnya dengan terpaksa bulik Lasmi memohon kepada bapak untuk bias diperbolehkan tinggal bersama bulik Tin untuk sementara waktu sementara dia mencari kerja di tempat ini. Karena dia berpikir akan lebih mudah hidup di desa daripada di Jakarta tanpa pekerjaan.
Sebab itulah bapak akhirnya menelepon bulik Tin tengah malam seperti ini, untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya.
“Iya pak….pasti…” aku menjawab sambil mengangguk-angguk (percuma kan? Orang yang ditelpon juga ga isa liat kalo kita mengangguk-angguk atau menggeleng-geleng )

Aku mengangsurkan telepon kepada bulik Tin lagi. Mereka bercakap-cakap sebentar lalu bulik Tin meletakkan gagang telepon menandakan percakapan sudah selesai.
Sesaat kami berdua merenung di keremangan ruang tengah memikirkan percakapan bapak tadi lalu merasa ikut prihatin dengan keadaan bulik Lasmi, serta perasaanku juga berganti dengan rasa ingin tahu dan berusaha mengingat keras bagaimana sekarang wajah bulik Lasmi dan kedua putri kembarnya.

Lamunanku buyar ketika merasakan sentuhan halus di manukku. Jemari lentik bulik Tin membelai dan kembali mengocok halus batang manukku. Serasa diingatkan, manukku dengan ‘riang gembira’ tegak berdiri!

Bulik tersenyum sambil mengedipkan mata mengisyaratkan agar kita berdua kembali lagi ke kamar. Dengan senang hati aku bangkit berdiri lalu mengikuti tubuh telanjang bulik Tin masuk ke dalam kamarnya.

Besoknya, minggu pagi, kita berdua mulai sibuk membereskan barang-barang dan kamar yang nantinya akan ditempati bulik Lasmi dan kedua putrinya. Apa boleh buat, kamarku akhirnya dirombak dan diatur sedemikian rupa supaya muat ditempati 3 orang, dan aku sendiri pindah ke kamar bulik Tin

Menjelang pukul 2 siang baru semuanya beres dan siap. Mereka akan datang kira-kira pukul 5 sore, jadi masih ada waktu bagi kami berdua untuk mandi dan berbenah diri.
“Bulik mandi bareng yo” Aku menarik tangan bulik lalu mengecup bibirnya yang merekah. Rasa capek tiba-tiba lenyap ketika bibir kami berdua mulai saling membelit, tanganku menelusup ke balik daster bulik Tin, mencari bongkahan susunya. Sementara tangan bulik Tin juga berusaha melolosi celana kolorku untuk meraih batang manukku.

Rencana mandi bersama buyar sudah ketika tubuh kami sama-sama telanjang di kamar bulik. Aku menjilati putting-puting kedua susu bulik Tin yang kecoklatan dan berdiri tegak menantang. Lidahku menari-nari, berputar di putingnya lalu berganti dengan hisapan-hisapan halus dan gigitan kecil di kedua puting susu bulik.

Bulik menggeliat menahan rasa geli yang menjalar di seluruh tubuhnya, tangannya menggenggam manukku dan mengocok dengan tidak beraturan, jemari jempolnya mengusap-usap ‘helm’ku serta lubang kencingnya sementara keempat jarinya yang lain menggenggam batangnya dan meremas serta mengocoknya perlahan.

Aku mengerang merasakan nikmat tidak terkira karena kocokan tangan bulik terasa lebih ahli dari kocokan tanganku sendiri!
Tidak mau kalah tangan kananku mulai bermain di vaginanya, jariku tengahku menelusup di lubang kehangatan bulik Tin, dengan gerakan teratur aku memaju mundurkan dan sesekali memutar jariku di dalam liang vaginanya, terkadang sengaja kutekuk ruas jariku dan seakan melakukan gerakan menggaruk halus dinding vagina bulik.

Bulik Tin menjerit kecil dan tubuhnya menggeliat liar ketika gerakan tersebut bersamaan kulakukan dengan jempolku mengelus-elus klitorisnya. Wajahnya tampak merah dan berpeluh menahan nikmat tiada tara. Kusambut bibirnya yang setengah terbuka, dengan bibirku nafasnya terasa panas di wajahku.

Ternyata tidak sia-sia aku ‘belajar’ dari film-film BF yang kulihat di rumah Manto. Bibi akhirnya menjerit kecil mencapai orgasmenya yang pertama! Dengan tersenyum nakal aku memposiskan manukku di atas lubang vagina bulik yang sudah membanjir, kugesek-gesekkan sebentar di klitorisnya sebelum aku perlahan mulai mendorongb masuk ke dalam liang hangatnya.
Bulik mengejang sesaat merasakan batang manukku memenuhi liang vaginanya, tangannya reflek memeluk leherku dan kakunya melingkar di pinggulku.
“Ohh….tok……ssssshhh…..enakkkkkkkhh… ….. uhmmm….” Bulik menceracau kecil ketika aku mulai menggerakkan pinggulku dengan teratur.

Sesekali kulahap kedua puting susunya, lalu kujilati leher dan telinga bulik Tin. Kepala bulik tin menggeleng-geleng kencang menahan kenikmatan tiada tara.

Jangan ditanya lagi, aku sendiri juga sudah seperti kesetanan, berusaha mencapai puncak. Kugerakkan pinggulku sesekali cepat dan sesekali melambat diiringi dengan gerakan memutar untuk menimbulkan sensasi yang tiada tara dan tak terlukiskan, dinding-dinding vagina bulik seakan akan memeras dan mencengkeram dengan gerakan menyedot seluruh permukaan batang manukku!
Sekuatnya aku bertahan akhirnya datang juga gelombang kenikmatan itu. Tubuhku menengang sesaat sementara manukku memuncratkan sperma berkali-kali ke dalam liang vagina bulik Tin, sedang bulik Tin sendiri juga mencapai puncak orgasmenya bersamaan dengan semprotan pertamaku!

Sungguh keajaiban dan keindahan yang sulit dilukiskan ketika kami berdua sama-sama mencapai kenikmatan dari persetubuhan ini.

Beberapa saat kemudian , akhirnya kami berdua bangkit berdiri dan mandi bersama bersiap-siap menyambut kedatangan bulik Lasmi dan kedua putri kembarnya.

***

Jam menunjukkan 17.25 ketika sebuah taksi berhenti di depan rumah bulik Tin. Aku bulik Tin bergegas menuju ke depan rumah untuk melihat siapakah yang datang.
Seorang wanita keluar disusul dengan kedua gadis kembar yang jelas-jelas menunjukan pasti ini bulik Lasmi dan kedua anaknya. Bulik Lasmi tampak cantik dengan setelan blazer coklat mudanya, dan kedua putri kembarnya ….astaga! Mereka bagaikan pemain-pemain sinetron blasteran yang sering kulihat di TV! Kedua putrinya sangat cantik dan seksi perpaduan antara indo-bule! Mereka sama-sama berambut panjang kecoklatan, berhidung mancung dan berkulit putih bersih dan juga bertubuh seksi. Sesaat aku terpana seperti melihat 2 bidadari turun dari langit!

Aku dan bulik Tin buru-buru menghampiri mereka lalu tampaklah adegan peluk cium antara kedua bulik Tin, bulik Lasmi serta kedua putrinya. Aku membantu sopir taksi menurunkan tas-tas dan barang-barang bawaan mereka.
“Wah Supri sudah besar ya sekarang “ Bulik Lasmi ganti memelukku dalam perjalanan masuk kedalam rumah. Aku tersenyum kaku terdiam karena kedua tanganku sedang membawa 2 tas besar, bau wangi dari tubuhnya menerpa hidungku, sementara kulihat kedua putrinya, yang satu tampak tersenyum manis, tapi hei, satu lagi tersenyum sinis padaku?

Setelah semuanya berada di dalam rumah dan sopir taksi beranjak pergi setelah menerima ongkos + tips yang diberikan oleh bulik Lasmi, barulah aku bisa bersalaman dengan kedua putrinya
“Yasmin” salah satu putrinya mengulurkan tangannya sambil tersenyum manis. Aku menyambutnya dengan gemetar “Supriyanto, tapi panggil aja Totok” jawabku.
“Sudah lama ya kita tida pernah ketemu” kataku mengingat-ingat kapan terakhir kali aku bertemu kedua putri bulik Lasmi.

Aku mengulurkan tanganku ke Sinta, tapi gadis itu hanya melirikku sebentar lalu mendengus, mengambil tempat duduk di ruang tamu.
Aku bertanya-tanya apa ada yang salah ma aku nih?

Tidak salah tebakanku, kedua putri bulik Lasmi memang seumuran denganku, baru juga lulus SMU, dan hendak mesuk ke salah satu universitas terkenal di Jakarta ketika musibah menimpa keluarga mereka.

Sementara kedua bulikku saling berbagi cerita di ruang tamu, aku menuju ke belakang untuk membikinkan teh buat mereka semuanya.

Ditengah aku mengaduk-aduk minuman yang akan kusiapkan, salah satu gadis masuk ke dapur sambil melihat-lihat sekeliling ruangan ini dengan berkerenyit jijik
“ Bisa juga lo idup di rumah kaya gini?” celetuknya tanpa melihatku.

Kaget aku dia berkomentar seperti itu ‘maksudnya apa ni cewe?’
“Ya bagaimana lagi, memang adanya ya kaya gini” jawabku.
“Kalo ga mama yg maksa gue, gue kaga bakal mau idup di gubuk kaya gini! Udah reot, ga ada apa-apa lagi!” sahutnya santai.

Gigiku gemeletuk menahan marah. Kalo tidak ingat pesan bapak, sudah aku usir makhluk sombong ini!
“Kamu pasti Sinta ya?” Tanyaku
“Heh! Elo jangan sok akrab ye! Gue tu cuman sementara aja disini, dan elo kaga pantes sok akrab ma gue! “ sahutnya ketus

Aku melongo, lah siapa yang sok akrab, orang tadi saja dia tidak mau memperkenalkan diri. Dia menjulurkan lidahnya lalu kembali ke ruang depan, sementara aku terdiam. Wah, ini cewe geblek apa gendeng? Udah numpang, lha kok malah bikin gara-gara.

Kesal bercampur marah aku mengantarkan minuman ke ruang depan. Kulirik gadis yang sedang berdiri di dekat pintu. Sinta! Dia tersenyum sinis sambil diam-diam menunjukkan jari tengahnya kepadaku. Aku memalingkan mukaku yang merah padam, kubagikan teh di meja, lalu aku beranjak kembali ke dapur. Tiba-tiba sebuah tangan mencekal tanganku, hampir saja kudamprat karena aku pikir Sinta yang sengaja hendak menggodaku
“Eh, Supri mau kemana? Bulik Lasmi belum selesai kangennya!”

Bulik Lasmi menarik tubuhku lalu menciumi seluruh wajahku. Aku terperangah diam karena kaget. Tidak tiap hari kan kamu diciumin cewe cantik kaya bulik Lasmi
“Duh, sekarang kamu sudah benar-benar menjadi cowo ganteng dan gagah ya!” Bulik lasmi masih memegang tanganku dan memandang wajahku yang bersemu merah.
“Tampang kaya kacung gitu kok bisa-bisanya mama bilang dia ganteng” Suatu suara menyahuti.
“Eh Sinta, jaga mulutmu. Bagaimanapun juga dia itu kakakmu, dan kita harusnya berterima kasih karena Bulik Tin dan kakakmu ini mau menerima kita dirumahnya” Bulik Lasmi menjawab tegas.

Sinta hanya tersenyum sinis lalu beranjak pergi masuk ke dalam
“Mana nih kamar gue? Gue mau tidur! Eneg liat dia”
“Sebelah dapur itu dik Sinta” bulik Tin menjawab pertanyaan yang kurang ajar tadi

Bulik Lasmi mendesah kesal
“Maaf ya dik, anakku yang satu tu memang agak susah diatur”
“Ga papa kok mbak, namanya aja masih remaja” kata bulik Tin menetralkan suasana yang sempat tidak enak ini.

Aku duduk di tengah-tengah antara bulik Lasmi dan Yasmin, tangannya merangkulku sambil bercerita mengenai kehidupannya di Jakarta. Sementara aku mencuri-curi lihat kepada Yasmin yang banyak diam dan hanya memainkan jari-jari tangannya saja. Aku hanya berharap semoga Yasmin tidak seperti kakaknya yang egois itu.

Diam-diam aku memperhatikan bulik Lasmi yang memang terlihat ramping dan seksi. Wajahnya tampak anggun, hidungnya mancung dan bibirnya merekah indah seperti milik bulik Tin. Payudaranya masih tampak kecang mendongak keatas dibalik bajunya, sementara secara keseluruhan tidak menampakkan dia sudah mempunyai anak yang sudah beranjak dewasa.

Aku jadi malu sendiri.
Manukku ngaceng tanpa bisa kucegah!

Beberapa hari kemudian aku sudah bisa membedakan yang mana Yasmin dan yang mana Sinta. Jelas saja, walaupun mereka kembar, tetapi sifat mereka bagaikan bumi dan langit.
Sinta, agak tomboy, egois, malas, dan seambrek sifat jelek lainnya, sedangkan Yasmin, anaknya diam, rajin, pembawaannya halus dan tidak banyak omong.

Beberapa kali aku beradu mulut dengan Sinta, dan Yasminlah yang menengahi, bahkan lebih sering membelaku daripada saudarinya. Kedua gadis cantik ini memang benar-benar membuatku gemas! Yang satu membuatku gemas ingin menampar mulutnya yang tidak tahu aturan itu, yang satu membuatku gemas mencium bibirnya yang indah.

Dan beberapa hari ini hanya kami bertigalah yang lebih sering berada di rumah, karena Bulik Tin pergi mengajar, dan bulik Lasmi berusaha melamar pekerjaan.

Sedang aku makin frustasi! Karena sudah beberapa hari ini, aku dan bulik Tin tidak pernah melakukan hubungan intim lagi. Bulik Tin tidak mau ambil resiko mereka bertiga ada yang memergoki hubungan tabu ini. Aku mengerti, karena tahu resiko yang akan ditanggung, tetapi manukku iki lho, opo yo gelem ngerti (apa ya mau ngerti)? Bagaimana bisa, jika setiap hari berada di rumah dipenuhi bidadari-bidadari yang cantik ini.

Dan yang paling membuatku makin sebal tingkah laku Sinta yang sengaja menggodaku, sering kali dia memakai pakaian yang sangat minim dan bahkan terbuka di setiap lekuk tubuhnya. Walaupun tiap hari tiada absen bertengkar dengan dia, namanya aja lelaki normal disuguhi pemandangan seperti itu jelas aja manukku ngaceng terus. Dan dia tersenyum puas ketika dia berhasil membuatku ngaceng dibalik celana kolorku. Sialan!

Suatu siang,
“Eh lo, bikinin gue minum donk, haus nih”

Mulai lagi nih anak!
“Bikin sendiri saja non, ga ada tangan ya?” Sahutku cuek sambil membaca majalah duduk berseberangan dengan dia di ruang tengah.
“Elo kan yang punya rumah! Apalagi elo tu tampangnya udah kaya kacung, ya semestinya elo bikinin gue tu minuman, syukur-syukur deh kalo sama cemilannya sekalian” cerocosnya.
“Justru aku yang sebagai punya rumah tanya ama kamu, sudah pantas kamu ngomong gitu? Apa kamu tidak pernah diberikan pendidikan dulunya? Kaga sekolah ya lo?” Balasku cuek juga.
“Gila ya lo? Sekolah gue tu sekolah mahal tau! Ama sekolah lo yg di kampung gini bedanya jauh man! Lo bayar disini ampe lulus SMA, baru lo isa sekolah di tempat gue, itupun baru bisa cicil bayaran sebulan!” Sentaknya sambil berdiri menunjuk ke wajahku.
“Lalu kenapa kamu seperti tidak punya aturan? Susah punya anak kaya kamu.” Sahutku sambil berdiri mau menghindari pertengkaran lebih lanjut.
“Anak? Bapak ibumu tu yang harusnya kasihan, punya anak tampang kacung kaya elo, Goblok lage! Ibumu matipun tidak tenang disana mikirin tampang elo yang…”

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya tanganku mencekal mulutnya yang sedang terbuka. Amarahku meluap.
“JANGAN SEKALIPUN kamu MENYEBUT nama IBUKU!” gemeletuk aku menahan emosi.

Sesaat Sinta tampak terkejut, tetapi dengan cepat dia memutar tangannya lalu membelitkan ke ketiakku sambil berteriak.

Tiba-tiba aku merasakan tubuhku jadi seringan kapas dan pandanganku sepeerti terbalik, lalu sedetik kemudian punggungku menghantam lantai dengan keras. Aku terbengong-bengong belum menyadari apa yang terjadi.
“ Jangan main-main lo ma gue!” Sinta membuang muka dengan ketus lalu beranjak pergi ke belakang. Pantatnya yang bergoyang menghiasi pandanganku yang masih meringis kesakitan.

Ternyata baru aku tau kalo keduanya adalah jago judo. Bahkan pernah menjuarai kejuaraan antar daerah. Dan barusan aku terbanting oleh jurus Ippon-Seio-Nage. Sialan (lagi)!

Makin pongahlah Sinta setelah kejadian siang itu. Sedang aku makin mengkeret. Bener2 menakutkan cewe yang satu ini. Yasmin pun mendengar kejadian siang itu, dan dia menghiburku agar lebih mengalah aja sama kakaknya, Sinta (memang hitungannya Sinta adalah kakak dari Yasmin walaupun mereka kembar)
“Memang susah dirubah kalo bawaan orok” sahutku suatu ketika. Sebal!

***


Malam ini aku gelisah banget sudah hampir 1 bulan aku menahan birahi. Kepalaku sudah pusing menahan nafsu yang bertumpuk hingga ubun-ubun.

Kulihat bulik Tin yang berbaring tidur disebelahku. Dia memakai daster tipis tanpa dalaman. Aku meneguk ludah melihat gundukan vaginanya yang tercetak jelas di balik kain daster itu.

Kuberanikan diri, tanganku menyibakkan dasternya keatas hingga terbuka sampai batas leher. Mulutku mulai menjilati susu bulik yang sebelah kiri, tanganku meraih gundukan halus vaginanya. Membuka dan mengorek liangnya yang hangat. Basah.

Aku melirik memandang wajah bulik Tin. Ternyata dia sudah terbangun sambil tersenyum.
“Bulik tau Tok, tapi piye maneh? Bulikmu Lasmi mbek anak-anaknya tidur disebelah. Nanti kalo mereka mendengar dan menangkap basah kita. Kita juga sing susah.” Bisiknya perlahan ditelingaku.
“Tapi bulik, Totok bener2 wes ra kuat neh…” suaraku terdengar memelas.
“Bulik juga Tok…..” bisik bulik pelan.

Aku hampir melompat gembira, berarti bulik Tin juga merasakan hal yang sama! Tersiksa oleh birahi.
“Tapi alon2 ae yo…ojok banter2(pelan-pelan aja ya, jangan keras2) suaramu” Bulik Tin berbisik pelan lalu mengajak kami berdua pindah ke lantai, supaya ranjang tidak berderit ketika kami berpacu dalam birahi nanti.

Aku setengah tersenyum geli. Karena biasanya yang berisik itu bulik Tin. Tapi aku tidak ambil pusing, kuturuti syaratnya. Kami berdua tergesa melolosi pakaian yang melekat di tubuh kami masing2 hingga telanjang bulat
.
Tanpa membuang waktu lagi aku menyerbu kedua susu bulik Tin yang memang selalu menggodaku. Indah dan menantang! Bergantian kujilati dan kupermainkan dengan lidahku puting-putingnya sementara tanganku mengobok-obok liang vagina bulik Tin yang sudah sangat basah. Bulik Tin menahan rintihan yang keluar dengan mendekapkan tangan ke mulutnya.

Karena sudah tidak bisa menahan birahiku aku membaringkan diri lalu kuangkat tubuh bulik Tin supaya dia berada diatas tubuhku. Perlahan lahan bulik Tin menurunkan pinggulnya, manukku memasuki liang vaginanya yang hangat hingga mentok ke pangkalnya.
Tanpa dikomando, bulik Tin menggoyangkan pinggulnya dengan ritme teratur membuat manukku seakan akan dipilin-pilin dan diremas oleh dinding vaginanya. Aku memejamkan mata merasakan sensasi kenikmatan tiada tara ini. Bulit Tin semakin mempercepat gerakan menaik turunkan pinggulnya dan sesekali melakukan gerakan memutar serta maju mundur. Aku berusaha mengimbangi gerakan-gerakan bulik. Jika dia menurunkan tubuhnya aku menaikkan pinggulku ke atas hingga aku merasakan manukku mentok hingga mulut rahimnya!

Tanganku meremasi dan memainkan puting-puting susunya yang bergoyang mengikuti irama gerakan persetubuhan kami ini. Sambil sesekali berpindah ke pinggulnya membantu bulik mempercepat gerakannya.

Beberapa saat kemudian tubuhnya mengejang pelan lalu hampir ambruk menindih tubuhku. Bulik Tin sudah mendapatkan puncaknya. Tanganku mencengkeram kedua bokong bulik Tin lalu aku menggenjot dengan cepat dari bawah.

Suara kecipak beradunya alat kelamin kami adalah satu-satunya yang bisa kudengar, karena bulik menahan erangan kenikmatannya dengan mengunci mulutnya rapat2.
“Mmmmh….hhhhh..mmm”

Kugenjot dengan liar liang vaginanya hingga seperti piston yang naik turun masuk ke dalam liang surgawi. Tak kuperdulikan lagi bulik Tin yang sudah mencapai klimaks keduanya. Aku hampir…hampir ……!!!!

Akhirnya!
Semprotan demi semprotan spermaku mengantarku mencapai awang-awang kenimatan tiada tara!! Serta merta Bulik Tin menghempaskan tubuhnya ambruk di tubuhku.
Aku mengejap-ngejapkan mataku! Kepalaku seakan berputar dan pandanganku berkunang-kunang meresapi keindahan ejakulasi dan orgasme kami berdua.

Sekilas aku melirik ke pintu kamar, kain tirai kamar bergerak menutup. Atau hanya perasaanku saja?
“Tok….makasih…” bisik bulik Tin mengecupku mesra di bibirku
“Totok juga lik….” balasku sambil mengulum bibirnya.

Keesokan paginya sambil bersiul-siul aku memberi makan si Jalu, ayam kesayanganku, sehabis mandi dengan bertelanjang dada dan hanya memakai celana kolor saja memang ini acara wajibku, mengelus-elus ayam peliharaanku.

Hatiku memang lagi senang, karena semalam tuntas sudah birahi yang terpendam selama 1 bulan ini. Lagi pula aku juga senang bulik Lasmi sudah mendapatkan pekerjaan di toko kelontong babah Acong pojok jalan, lalu Yasmin pun juga ikut berusaha mendapatkan pekerjaan dengan pergi kesana kesini untuk melamar pekerjaan. Beberapa kali dia mendapatkan panggilan, tetapi masih belum ada yang menerimanya bekerja.

Sinta keluar dari rumah menuju kamar mandi sambil berbalut handuk saja. Aku melirik sekilas. Lalu membuang muka. Aku tidak mau hari yang indah ini dirusak oleh setan betina itu!

Pletuk!
Sebuah kerikil mengenai si Jalu yang berkaok kesakitan dan lari entah kemana. 
Setan betina itu! Geramku. Suara tawanyanya yang renyah mengiringi Sinta masuk ke kamar mandi.

Beberapa saat kemudian terdengar suara air menandakan dia sudah mandi, dengan perasaan masih kesal, aku mencari Jalu sambil memanggil namanya berulangkali. Kasihan si Jalu.

Ketika aku kembali ke belakang rumah terdengar suara nyanyian di kamar mandi. Sinta menyanyi. Tak kupedulikan walaupun mau tidak mau kuakui suaranya memang bagus. Aku membersihkan kandang si Jalu lalu setelah itu menjemur pakaianku yang sudah kucuci tadi pagi.

Pintu kamar mandi terbuka, munculah Sinta dengan rambut basah dan tubuh berbalut handuk saja.
“I know what you did last night” nyanyinya dengan suara merdu

Pertama kali aku tidak memperhatikan apa yang dia katakan, kuteruskan pekerjaanku menjemur baju. Lalu Sinta menghampiri aku dan berbisik dekat di telingaku

“I SAID, I know what you did LAST NIGHT!” sambil tersenyum misterius.

Baru sadarlah otakku. Kupalingkan tubuhku menghadap setan betina ini. Terjawab sudah pertanyaanku semalam kenapa tirai pintu kamar bulik Tin bergerak. Sintalah yang memergoki kami berdua.

Setengah gemetar aku bertanya
“Opo seng kowe ngerti(Apa yang kamu ketahui)?” tanyaku saking terkejutnya
“English please” Sinta memonyongkan bibirnya mengejekku
“What the hell you talking about, BITCH!” Sahutku keras menahan rasa ingin tahuku

Sinta berbalik berjalan menuju ke rumah sambil bersiul. Tubuhnya melakukan gerakan bersetubuh sebagai isyarat jika dia sudah mengetahui apa yang aku perbuat semalam dengan bulik Tin.

Segera aku berlari kecil hendak menyusulnya, tetapi Sinta malah berlari masuk ke rumah, kukejar dia. Sesampainya di kamarnya aku menahan bahunya, aku lupa sesaat kalau ini bakal terjadi lagi.

BUK!

2 detik kemudian aku sudah terkapar berada dilantai, terbanting oleh jurus Seoi-Otoshi nya. Lalu tanpa membuang waktu lagi Sinta menindihku dan mengunci leher serta lenganku. Aku meronta, tetapi gila! Kunciannya benar2 membuatku tidak bisa berontak, apalagi melepaskan diri.

Sangat memalukan. Ini aku terlentang dilantai dengan hanya memakai kolor ditindih oleh gadis cantik yang mengunci lengan dan leherku dengan jurus judonya, dan gadis itu hanya memakai handuk saja sebagai penutup tubuhnya!
“O..o..kamu ketahuan…” nyanyinya dengan nafas memburu. Senyumnya seakan mengejekku.

Aku diam…bibirku bergetar menahan marah…dan malu! Tak ada yang bisa kukatakan. Hancur sudah! Setan betina ini sudah mengetahui segalanya. Bayangan akan kemarahan bapak dan aib yang menodai keluargaku ini sudah tercetak jelas!
“F*ck me…” Bisiknya perlahan ditelingaku

Aku mendelik antara percaya dan tidak percaya!
“Apa..?” Hanya kata itu yang melompat dari bibirku yang gemetar. Tidak mempercayai apa yang barusan kudengar.

Sebagai jawaban dengan tangan kirinya Sinta memelorotkan celanaku sebatas paha hingga manukku terbebas. Dasar lelaki, reaksiku benar2 cepat. Manukku kini sudah setengah ngaceng.

Sinta menggeserkan pinggulnya sedikit. Aku mendelik! Kurasakan kini manukku bersentuhan langsung dengan bibir vaginanya yang basah.

Aku meronta, tetapi gerakan itu membuat kuncian di lenganku makin sakit. Aku meringis kesakitan.
“Sin, wes guyone(udahan becandanya)…!!” aku kehabisan kata-kata.
“…please…” Sinta berbisik lagi. “Gue tau gue memang jahat…” dia meneguk ludahnya. Matanya meredup. Setan betina ini kok jadi semakin cantik aja ya?

Dia menundukkan kepalanya, rambutnya yang basah tergerai di mukaku.
“…tapi sekarang gue butuh ini…” bisiknya sambil menggerakkan sedikit pinggulnya. Basah. Dan manukku makin mengeras.
“…ngggg…tapi lepasin ini dulu…” kataku lemah, tanganku mulai kesemutan.
“OK, gue lepasin…tapi…” Sinta mengedipkan matanya

Sesaat dia mengendorkan kunciannya. Aku segera melihat kesempatan, kuputar tubuhku dan kuangkat punggungku dari lantai. Lenganku bebas, aku menggeliat melepaskan diri. Sinta yang terkejut karena gerakanku yang tiba-tiba tidak menguasai keadaan, dia jatuh terguling di lantai.

Aku bangkit berdiri lalu berusaha keluar dari kamar ini. Dasar goblok, aku lupa kalo celana kolorku sudah melorot, Sesaat aku kehilangan keseimbangan.

Sinta tidak membuang waktu dia segera bangkit dan kembali mendorong dadaku, tangannya melakukan gerakan aneh memutar mengunci kedua tanganku. Kini Aku terjepit di dinding berhadapan dengan Setan ini.
“Jangan main-main mas!” nafasnya tersengal kedua tanganku terkunci dibelakang tubuhku.

Apa? Ga salah dengar nih? ‘mas?’ Dia memanggilku mas?
Aku terkejut ketika merasakan sentuhan halus di manukku….jemarinya yang lentik mulai menggenggam batangnya. Mengocoknya perlahan. Sesaat aku melenguh.

Sinta tersenyum, merasakan kemenangan sudah berada ditangannya. Perlahan dia menundukkan tubuhnya, bibirnya yang merekah itu membuka. Aku merasakan sensasi yang hebat ketika kulihat perlahan-lahan manukku masuk di mulutnya yang basah. Matanya menatap mataku langsung.

Sinta menggerakkan kepalanya maju mundur dengan ritme teratur, sesekali dia menjilati seluruh batang dan kantung telurku. Lidahnya juga menari-nari di helm serta lubang kencingku.

Aku melenguh. Sensasinya sungguh luar biasa!

Perlahan dia melepaskan tangannya dari tanganku yang terkunci. Sesaat aku berpikir akan lari keluar. Tetapi …duh….rasa ini….sangat menggelitik. Aku malah memejamkan mata mendongak meresapi setiap aliran kenikmatan yang berasal dari manukku.
Tangannya kini mempermainkan kantong telurku. Menggelitik hingga merasuk setiap tulang sumsumku. Setengah menjerit ketika aku merasakan jemarinya memasuki anusku. Hampir saja aku berontak, tetapi matanya mengisyaratkan keyakinan. Aku terdiam, membiarkan jemarinya perlahan makin dalam masuk ke dalam anusku.

Edan! Tak bisa kulukiskan betapa hebatnya gelombang kenikmatan yang kuperoleh ketika dia secara bersamaan menekuk jarinya dan menggerakkannya secara berputar di dalam anusku sementara mulutnya maju mundur melahap seluruh batang manukku!
Tak dapat kutahan lagi!
“ Sin…aku..mau…..ughh…” hanya itu yang sempat keluar dari mulutku.

Sinta malah mengencangkan bibirnya di batang manukku. Matanya menatapku penuh nafsu. Semprotan demi semprotan spermaku memasuki tenggorokannya. Setelah kedutan terakhir dia menyedot-nyedot dengan kuat seluruh manukku seakan tidak mau adanya sperma yang tersisa. Sedikit lelehan sperma dijung bibirnya menetes ke lantai. Aku mengelosor di lantai. Lemas.

Setelah melap sisa sperma di bibirnya dengan tisu, Sinta merangkak menghampiriku. Dia tersenyum, tetapi kali ini tidak kulihat senyum sinisnya. Benar-benar senyum yang tulus.
“Mas…” bibirnya mencari bibirku. Aku menyambutnya, bibir kami membelit untuk beberapa saat.
Sinta melepaskan ciumannya. Nafasnya tersengal.
“Gencatan senjata? Deal?” dia mengulurkan tangannya dengan jari yang ditekuk menunjukkan perdamaian.
“Deal” kusambut tangannya.Witing tresno jalaran soko kulino = Cinta tumbuh karena terbiasa (bersama)

Malam itu kami makan bersama. Aku melirik Yasmin yang sedang menyuap makanannya pelan-pelan. Rambutnya dikucir kuda dengan poni kecil tergerai di dahinya. Duh! Betapa cantiknya dia…sedang buah da…

Aku terkejut ketika merasakan sebuah kaki merayap di pahaku. Perlahan aku melihat ke arah bulik Tin. Bukan dia. Bulik Tin sedang asik bercakap-cakap dengan bulik Lasmi. Kupalingkan wajahku kearah Sinta.

Wajahnya terlihat menahan senyum. Aku mendelik marah. Bisa-bisanya di saat seperti ini dia bermain-main dengan bahaya. Belum sempat aku mengucapkan sesuatu, sudut mataku menangkap gerakan kepala Yasmin. Dia sedang menatapku.

Seperti maling kepergok, aku menunduk malu. Kusuap nasiku dengan tergesa. Aku tesedak! Terbatuk. Sinta terkikik senang. Yasmin tersenyum sambil menyodorkan segelas air minum kepadaku.

Kuterima dengan pandangan terima kasih yang tulus.
“Makan itu jangan tergesa-gesa Tok” Suara bulik Lasmi mengingatkan

Setelah beberapa teguk air membasahi tenggorkanku baru aku bisa menjawab dengan suara serak.
“Iya bulik. Maaf”

Kedua bulikku melanjutkan percakapan yang sempat terputus tadi. Aku melirik Yasmin. Dia masih menyuapkan suapan terakhirnya, menaruh sendok lalu minum (dasar geblek! Itu kan gerakan wajar buat orang makan)

Hampir saja aku meloncat, kurasakan telapak kaki di selakanganku. Aku melirik geram ke arah Sinta yang tersenyum mengejek, melihat ke arahku, lalu ke arah Yasmin. Aku menggigit bibir menahan agar tidak keluar sumpah serapahku. Aku kepergok si setan ini ketika sedang mencuri pandang ke arah adiknya.

Segera kuselesaikan makanku lalu berdiri. Kubawa piringku ke tempat cuci piring
“Tok, aku ikut. Aku juga mau cuci piringku” Sinta bangkit berdiri sambil menyusulku ke belakang membawa piringnya.

Yasmin melongo heran. ‘Kenapa kakaknya hari ini?’
“Nyapo melok-melok? (ngapain ikut-ikut segala?)” desisku ketika kami sudah berada di belakang rumah. Ku ambil sabun dan kunyalakan keran air untuk mencuci piringku.
“Hei, gue kan juga mau cuci piring” sahutnya …lagian gue juga kangen sama ini”

Aku meloncat kaget ketika tangan Sinta masuk ke dalam celana kolorku langsung menggenggam manukku!
“Sin!” Desisku “Awas … nanti ketahuan bulik!” Setengah panik aku melongok melihat ke arah pintu yang menuju ruang makan.
“Biarin!” tangannya mengocok pelan manukku.

Gila ni cewe benar-benar pintar membangkitkan gairah seorang laki-laki. Tangannya memuntir dan meremas halus ujung manukku. Sesaat aku menggelinjang. Sinta tersenyum penuh kemenangan.
“Gue tau, saat tangan gue berada di ***** lo ini, otak lo bayangin sapa? Yasmin kan?”

Mukaku merah padam. Aku hendak menjawab ketika Sinta mempercepat kocokanku
“Forget it, I just want this! Your big cock, bro” Bibirnya mendesis, mencium bibirku meredam segala amarahku yang akan meletup. Kusambut bibirnya. Sesaat kami berciuman. Tubuhku gemetar.

Aku tersadar ketika terdengar langkah kaki menuju kearah kami. Cepat-cepat kutarik tangan Sinta keluar dari dalam celanaku

Yasmin! Aku menarik nafas lega bertepatan dengan Yasmin yang menuju ke arah kami.
“Hei, ada yang aneh nih. Ga biasanya kalian akur malam mini.” tegur Yasmin sambil mengedipkan matanya dengan jenaka
“Kaga, gue masi eneg liat dia!” sahut Sinta ketus, dia menyodorkan piring kotornya ke Yasmin
“Cuciin sekalian punya gue ye. Gue mau kedalem sebelum muntah” Yasmin menerimanya, memandangku sebentar dengan penuh rasa simpati, lalu berbalik ke tempat cucian piring

Mukaku merah menahan malu dan geram. Bisa-bisanya setan betina itu bicara kaya gitu setelah tadi. Belum sempat aku berpikir lebih lanjut Sinta menoleh kearahku, dengan isyarat mulutnya dia berkata tanpa suara “F*ck me bro!”
“Sialan!” desisku pelan
“Apa?” Yasmin menoleh kearahku. Sinta terkikik melihat aku belingsatan salah tingkah. Dia kabur.
“Oh…eh..ga papa..” cetusku. “Sini aku bantu kamu” aku berdiri disebelahnya membantu mencuci piring. Bau tubuhnya yang harum membuaiku, kulirik dia, lehernya yang jenjang dan putih, kausnya tidak dapat menyembunyikan betapa seksi lekuk-lekuk tubuhnya…
“Tok?” Yasmin menegurku. Aku hampir mati kaget! “ Ada apa? Ada yang aneh ama aku ya?” dia bertanya. Makin aku kehilangan kata-kata.
“Nggg…ndak kok Yas,” kami berdua kembali melanjutkan cuci piring dengan terdiam.

Setelah piring terakhir sudah aku lap, Yasmin menghadap ke arahku, memutar tubuhku. Aku terdiam seribu bahas ketika tangannya meraih tanganku.
“Sudahlah mas. Mbak Sinta memang sifatnya begitu. Semakin mas Totok meladeni dia, semakin senang dia menggoda mas.” Suaranya meluncur keluar.

Tangannya meremas jemariku. Aku terbang ke langit! Dia tersenyum lalu melepaskan tangannya. “Ok, saya masuk ke dalam dulu, masih banyak surat yang belum dibuat” Sesaat wajahnya menampakkan keputus asaan.

Aku terdiam seribu bahasa sampai Yasmin lenyap dari pandanganku. Goblok! Aku memaki diriku sendiri.

**

Sampai lewat tengah malam, di tempat tidur aku berbaring dengan mata terbuka. Merenungi kejadian hari ini.
Sinta, setan betina itu, mau-maunya mengemut manukku, bahkan menelan habis seluruh spermaku yang keluar. Padahal, sebelumnya dia adalah musuh besarku! Aku menggeleng tak mengerti, aku membencinya, sungguh! Tetapi kenapa ketika dia mulai mencium bibirku tadi, rasa benci dan marah terasa lenyap tak berbekas. Ciuman yang kurasakan memang berbeda dari ketika aku mencium bulik Tin. Binal dan liar. Tapi ada sensasi sendiri ketika bibirnya bertemu dengan milikku. Hangat, basah dan ciumannya benar2 menaklukanku!

Mungkinkah benar apa yang dikatakannya tadi? Apakah aku memikirkan Yasmin ketika aku dilanda birahi, sedang fisikku berada di dalam genggamannya? Ah tidak! Aku tidak bisa membandingkan Yasmin dengan setan betina itu! Tidak pantas! Yasmin berbeda. Dia sangat lembut, selalu baik padaku dan penuh perhatian. Dia adalah malaikat. Dia adalah…

Tunggu dulu! Wow..wow…kenapa aku sampai memikirkan begitu? Kenapa aku tidak mampu berkata-kata ketika aku berhadapan dengannya? Inikah cinta? Jatuh cintakah aku padanya? Mana mungkin? Dia adalah sepupuku, anak dari bulik Lasmi!! Lagi pula, aku tidak pantas bersanding dengannya. Dia bagaikan bidadari sedang aku adalah manusia hina. Perbedaan bagaikan bumi dan langit, aku bagaikan pungguk merindukan bulan!

Semakin lama aku memikirkannya, semakin hatiku berkecamuk!
“Sssstt…”

Aku memalingkan mukaku. Bingung. Kukejap-kejapkan mata untuk melihat kearah pintu kamar. Dalam keremangan tampak sebuah kepala muncul diantara tirai kamar. Setan betina itu! Aku langsung mengenalinya dari senyumnya. Tangannya memberi isyarat agar aku diam dan menghampirinya. Ada apa lagi? Apa maunya dia?

Perlahan aku bangkit dari tempat tidur supaya tidak membangunkan bulik Tin. Aku terseok sebentar ketika mengambil sandal jepitku. Kupalingkan mukaku ke arah pintu. Makin jelas wajah cantik yang berambut panjang itu sedang menyeringai. Kuhampiri dia dengan setengah kesal.
“Ada apa lagi?” bisikku penuh tanda tanya.

Tanpa berkata apapun Sinta meraih tanganku untuk mengikutinya.
“Hei! Tunggu, kita mau kemana?” desisku. Kutahan tubuhku. Apa maunya setan ini?

Sinta mendelik tajam di keremangan
“Lo mau semua bangun? Diam dan ikutin gue!”

Dia menarik tanganku lagi, menuju ke belakang. Perlahan sekali dia membuka kunci pintu belakang, lalu menuju ke luar. Angin dingin langsung menerpa kami berdua. Cahaya bulan purnama bersinar dengan indahnya.

Astaganaga! Baru aku memperhatikan, Sinta hanya memakai kaus longgar tanpa bawahan! Hanya bercelana dalam saja.

Sesampainya dekat gudang sebelah kamar mandi. Sinta membalikkan badannya. Sejenak aku terbuai. Wajahnya yang cantik diterangi sinar rembulan. Bibirnya….
“Ada apa kita kesini? Apa sih maumu?” tanyaku berbisik.

Sinta tak menjawab, perlahan dia merangkul leherku dan menempelkan bibirnya kebibirku.
“Hei…kamu..” protesku. Tapi aku tak bisa mengeluarkan kata-kata lagi ketika lidahnya menyeruak diantara bibirku, menari didalam mulutku. Matanya terpejam

Kami berciuman beberapa saat, liar dan panas! Aku terbuai….

Tangannya menelusup dibalik kausku, merabai dadaku, mempermainkan puting susuku. Merinding dan geli aku dibuatnya.

“C’mon bro…I just want this! I need your big cock! Lets f*ck!” kata-katanya meluncur cepat diantara nafasnya yang tersengal, tangannya sudah berada dibalik celana kolorku. Aku melenguh ketika dia mulai mengocokku perlahan.
“Tapi Sin! Kamu adalah sepupuku, kita tidak bisa…lagi pula…”
“F*ck that! Apa bedanya? Elo juga ngentot ama bulik Tin kan? “ desisnya.
Aku terdiam. Apa yang dikatakannya benar, apa bedanya jika aku juga sudah bersetubuh dengan bulik Tin. Sama saja bejatnya kan?
“Ada apa? Lo mikirin adek gue lage? Apa sih kelebihan dia? Sampe lo tergila…”
“STOP!” geramku. “Jangan terusin. Jangan kamu bicara begitu tentang Yasmin! Atau…”
“Atau apa? Hah? Apa bedanya dia ama gue? Kita kembar, apa lo buta?” serunya gusar.
“Beda! Jelas beda! Kamu bukan dia! Walaupun kembar kamu…”

Aku terdiam melongo. Sinta melepas kausnya, lalu celana dalamnya. Bugil. Tubuhnya yang indah tertimpa sinar bulan. Payudaranya yang membulat dengan puting-putingnya yang tegak berdiri. Lalu aku sempat melirik bagian vaginanya yang tak berambut.

Gundukannya jelas sangat indah dengan bibir vaginanya yang mungil…
“Shut up! Can you….just f*ck me now?” matanya mendelik tajam. Tangannya menarik celana kolorku kebawah. Membuat manukku yang sudah ngaceng terbebas dari kukungannya.
“Tapi Sin, aku tidak bisa…uhm….bagaimana jika ada yang memergoki kita disini? Bagai..”

Aku tak sanggup meneruskan kata-kataku. Bibirku disumpal dengan bibirnya. Sekali lagi kami berciuman dengan ganas. Kini tanganku mulai berani menjamah susunya. Wow! Rasanya berbeda dengan bulik Tin, punya Sinta ini sangat kencang, kenyal dan bentuknya pun sempurna. Puting-putingnya mungil merindukan jamahan jari-jariku.

Tangan Sinta dengan terampil mengocok manukku, sesekali dia meremasi kantung telurku dengan lembut. Jemarinya bagaikan ular membelit, mengocok, memutar seluruh permukaan manukku. Aku merintih diantara bibirnya.
“Yes baby…yes…I need your big dicky inside me!” dia menceracau dengan nafas memburu. “F*ck me!” tangannya makin terampil membuat manukku semakin mengeras bagai baja!

Aku menundukkan kepalaku, mencicipi kedua buah susunya. Kujilati puting-putingnya, kupijat dengan perlahan dengan tanganku, kuremasi dengan lembut. Sinta merintih.

Tanganku akhirnya sampai juga di belahan vaginanya. Basah. Kurasakan gundukan vaginanya, lalu belahannya yang mungil. Dan liangnya yang hangat. Kupermainkan jariku disana. Kutemukan kelentit mungilnya, kupijat dengan lembut sementara jari tengahku berada di dalam liang vaginanya mengocok lembut.

Sinta mendongak, mendelik mulutnya merintih dan mengerang.
“Yes…yes!! Oh god! …..yes….”

Matanya memandangku dengan penuh birahi. Dia menjilati bibirnya lalu membukanya separuh mengundang bibirku bersatu kembali dengannya. Bibir kami kembali membelit. Lidah kami saling menari.
“ Oh god! Yes..!! yes!!!….i’m cumingggggg…!!!” Sinta berteriak seperti kesetanan. Aku terkejut. Kusumpal mulutnya dengan tanganku.
“Gila Sin! Kamu ingin membangunkan seluruh kampung sini?” desisku

Sinta memandangku malu lalu dia kembali menciumiku. “Now just f*ck me” dia memposisikan dirinya, punggungnya menghadapku.

Sejenak aku ragu-ragu. Tapi persetan! Kuposisikan manukku di depan liang vaginanya. Kudorong perlahan. Meleset. Kucoba lagi, kepalanya sudah mulai membelah bibir vagina Sinta. Lalu masuk lagi senti demi senti hingga masuk seluruhnya. Hangat dan basah!

‘Dia sudah tidak perawan lagi’ pikirku. Tak heran kalo melihat kelakuannya seperti setan. Siapakah ya yang beruntung mendapatkan keperawanannya? Sialan! Kenapa aku jadi mangkel gini? Cemburukah ini?

Kualihkan perhatianku, konsentrasi pada tempat beradunya kelamin kami berdua. Dengan ritme yang teratur aku mulai menggerakkan pinggulku, aku mengerang, terasa sempit dan enak sekali! Seluruh batang manukku seakan dipilin-pilin oleh dinding vaginanya yang basah.

Sintapun bergerak dengan agresif, menggoyangkan pinggulnya sambil sesekali membalas sodokan-sodokanku. Tangannya bekerja di klitorisnya sendiri.
“Ugh…yeah….mas….enakkkk…hhh….oh god! Yesss….!!” Rintihnya. Wow, sudah 2 kali ini aku mendengar dia memanggilku ‘Mas’. Aku tersenyum.

Walaupun udara pada malam itu terasa dingin, tubuh kami berdua berpeluh, berkilau tertimpa sinar rembulan. Bayangan kami yang bergerak seakan menjadi saksi betapa indahnya persetubuhan kami sekarang.
“Sin, sssttt…jangan keras-keras” desisku diantara nafasku yang memburu.
“Sori. Abis enak ban…nget…nihh….!!” Jawabnya hampir berbisik.

Kini tangan satunya menahan mulutnya, sedang tangan kirinya tetap bermain di klitorisnya. Aku hampir tertawa melihat gayanya yang lucu seperti ini.

Kupercepat gerakanku, dilema, antara ingin berejakulasi dan tidak, karena rasa ini benar-benar membuatku terbang sampai awing-awang. Dinding-dinding vaginanya seakan punya mata memijat syaraf-syaraf kenikmatan di seluruh permukaan batang manukku. Ohh..benar-benar seperti melayang!
“Auuuhh!!” tanpa sadar Sinta setengah menjerit ketika mencapai orgasme keduanya.
Kutepuk pantatnya agak keras “Sin! Mau kita berdua mati ya?”
“Gila…matipun gue rela kalo kaya gini! “ Sinta terkikik geli
“Aku yang ga mau! Nasi pecel aja masih enak” balasku berbisik di telinganya. Kujilati daun telinganya. Sinta merintih, mendongakan kepalanya.
“Sin…a…ku mau…. keluar….” Bisikku terputus-putus.

Secepat kilat Sinta mencabut manukku lalu berbalik sambil berjongkok dihadapan manukku. Dikulum seluruh batangnya dengan bernafsu, sambil tangannya membantu mengocok dan meremas lembut kantong telurku. Matanya lurus menatapku dengan penuh nafsu. Bagaimana bisa aku menahannya jika melihat pemandangan seperti ini?

Manukku berkedut-kedut menyemprotkan sperma ke dalam mulut Sinta. Mata kami saling menatap tidak berkedip ditengah gelombang orgasme yang melandaku.

Sinta menyelesaikannya dengan menghisap habis seluruh sperma yang tersisa dan menelannya. Lalu tanpa dikomandopun dia menjilati seluruh batang manukku membersihkan sisa-sisa sperma yang menempel

Aku menarik nafas kelegaan. Kepuasan!

Sinta bangkit berdiri lalu merangkulku dengan mesra. Bibirnya menyentuh bibirku. Aroma tajam spermaku masih terasa. Aku tidak peduli. Kusambut bibirnya….
“Thanks bro! I love you!” bisiknya ditengah-tengah ciuman kami

Sesaat aku tidak mempercayai pendengaranku. I love you? Aku masih terbengong. Sinta masih mencium wajahku. Tangannya erat memeluk tubuhku.

Sinar rembulan makin bercahaya

**

Yasmin berteriak!
Sedetik kemudian aku merasakan tubuhku melayang, terkena bantingan harai-goshi nya (sapuan pinggang). Secepat kilat aku berdiri lalu menyerbunya.

Dengan tenang Yasmin menggeserkan tubuhnya sedikit lalu mengeluarkan jurus morote-seoi-nage (bantingan lewat bahu dengan 2 tangan)

Pagi ini kami berdua berada di halaman belakang, aku dan Yasmin. Dia mempraktekkan beberapa jurus-jurus judonya sekaligus berlatih denganku. Kedua bulikku berangkat bekerja, Sinta keluar entah kemana. Jadi tinggalah aku berdua dengan Yasmin dirumah.
Beberapa matras usang kupasang di dekat gudang, supaya tubuhku tidak remuk oleh karena bantingannya. Demi Yasmin aku pun rela jadi teman berlatihnya, atau lebih tepat sansak hidupnya.

Kini aku bangkit berdiri lagi. Tak habis pikir bagaimana tubuh Yasmin yang lebih kecil dariku bisa melemparkan tubuhku berulangkali tanpa kehabisan nafas. Aku kini mengambil kuda-kuda, perlahan-lahan mendekatinya. Yasmin tersenyum kecil.

Tiba-tiba dia mendekat maju secepat kilat, tubuhnya sedikit menunduk dan menyerbu pinggangku. Belum sempat aku bereaksi, kedua tangannya mengambil pahaku dengan gerakan morote-gari. Sekali lagi aku terlentang.
“Wow!!” Aku terkejap-kejap. Nafasku tersengal. “Kalian berdua benar-benar menakutkan “
Yasmin tertawa geli. Dia mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Kusambut tangannya.

Kami berdua duduk di matras. Nafasku masih terengah-engah. Sedang Yasmin sendiri tidak tampak kelelahan. Nafasnya teratur.
“Tidak. Hanya mas Totok saja yang memang tidak mengerti Judo. Jadi tampak seakan-akan aku lebih ahli dan lebih pandai. Padahal masih banyak yang lebih baik dari kami berdua” jawab Yasmin.
“Justru itu aku ingin belajar. Biar tidak jadi sansak hidup kakakmu, Sinta” kataku.
“Hihihi…mas Totok kalau mau belajar, pertama-tama harus mengerti dulu apa Judo itu. Sejarah judo itu.”
“Oya? Boleh donk aku tahu gimana sejarahnya”
“Yakin nih? Nanti bosen denger aku cerita” Yasmin tampak sumringah. Bagaimana tega aku menolaknya.
“Yakin!” sahutku mantap. Yasmin tersenyum senang
“Judo adalah seni bela diri, olahraga, dan filosofi yang berakar dari Jepang. Judo dikembangkan dari seni bela diri kuno Jepang yang disebut Jujutsu. Jujutsu yang merupakan seni bertahan dan menyerang menggunakan tangan kosong maupun senjata pendek, dikembangkan menjadi Judo oleh Jigoro Kano pada 1882. “ Yasmin berhenti sebentar untuk melihat mataku. Dia tersenyum, lalu melanjutkan lagi
“ Nah, Olahraga ini menjadi model dari seni bela diri Jepang, gendai budo, dikembangkan dari sekolah (koryu) tua. Pemain judo disebut judoka atau pejudo”
“Sapa dia? Yang menemukan judo? Jigoro?” tanyaku
“Yup. Jigoro Kano. Tapi pada awalnya dari waktu pegulat sumo zaman dahulu kala yang menjatuhkan lawannya tanpa senjata. Hal ini menginspirasikan teknik-teknik bela diri jujutsu. Sumo pada awalnya hanya dinikmati kaum aristokrat sebagai ritual atau upacara keagamaan pada zaman Heian.” Yasmin berhenti sebentar lalu memandangku.

“Jaman Heian itu sekitar abad 8 – 12” sambungnya seakan mengerti wajahku yang bertanya-tanya.
“Nah, lalu pada perkembangannya, Jepang memasuki masa-masa perang di mana kaum aristokrat digeser kedudukannya oleh kaum militer. Demikian pula olahraga yang sebelumnya hanya dijadikan hiburan, oleh kaum militer dijadikan untuk latihan para tentara. “ Yasmin menerawang sebentar.

“Justru pada masa inilah teknik jujutsu dikembangkan di medan pertempuran. Para prajurit bertempur tanpa senjata atau dengan senjata pendek. Teknik menjatuhkan lawan atau melumpuhkan lawan inilah yang dikenal dengan nama jujutsu.” Dia memandangku lagi. “Bosen ga nih dengerinnya?”
“Ga. Justru aku tertarik. Hitung-hitung kan jadi tambah pengetahuan” sahutku antusias.

Yasmin tertawa geli lalu melanjutkan lagi
“Pada zaman Edo yaitu abad ke-17 hingga abad ke-19 di mana keadaan Jepang relatif aman, jujutsu dikembangkan menjadi seni bela diri untuk melatih tubuh bagi masyarakat kelas ksatria.”

“Gaya-gaya jujutsu yang berbeda-beda mulai muncul, antara lain Takenouchi, Susumihozan, Araki, Sekiguchi, Kito, dan Tenjinshin’yo.”

“Sedangkan Jigoro Kano menambahkan gayanya sendiri pada banyak cabang jujutsu yang ia pelajari pada masa itu, termasuk Tenjinshiyo dan Kito. Kalo ga salah pada tahun 1882 ia mendirikan sebuah dojo di Tokyo yang ia sebut Kodokan Judo. Dojo pertama ini didirikan di kuil Eisho ji, dengan jumlah murid sembilan orang.” Yasmin berhenti sebentar untuk menarik nafas dan mengingat-ingat lagi.

“Lalu tujuan utama jujutsu adalah penguasaan teknik menyerang dan bertahan. Kano mengadaptasi tujuan ini, tapi lebih mengutamakan sistem pengajaran dan pembelajaran. Ia mengembangkan tiga target spesifik untuk judo: latihan fisik, pengembangan mental / roh, dan kompetisi di pertandingan-pertandingan. Makanya sekarang Judo juga ada kan dalam olimpiade” Yasmin tersenyum menyelesaikan ceritanya.

Aku benar-benar terpukau oleh pengetahuannya. Dia benar-benar mendalami Judo bukan kulitnya saja, tetapi benar-benar memahami sampai intinya.
“Bagaimana kamu bisa sampai tahu begitu detilnya?” tanyaku
“Hahaha…yah, gini. Gimana kita bisa mengerti suatu hal atau suatu masalah jika kita tidak mencari tahu sendiri inti dari hal tersebut. Dalam hal ini bela diri yang dinamakan Judo. Otomatis aku juga ingin tahu gimana sih awal mulanya, lalu siapa sih penemunya, gimana sih tehniknya? Gitu, mas.”
“Nah, berawal dari keingintahuanku itu, aku jadi bisa belajar hingga memahami tehnik-tehniknya.” Jawabnya.

Sekali lagi aku terpukau. Bukan saja oleh pengetahuannya, bahkan terlihat dari niat dan hatinya. Begitu dia mencintai Judo.

“Pengen tau lebih lanjut ga nih? Atau sudah bosen?” Tanya Yasmin antusias. Aku mengangguk cepat
“Tentu saja, kenapa tidak?” jawabku.

Yasmin memandangku sebentar lalu meneruskan ceritanya.
“Sebenernya tingkatan Judo itu bermacam-macam. Dimulai dari kelas pemula disebut shoshinsha, seorang judoka mulai menggunakan ikat pinggang dan disebut berada di tingkatan kyu kelima. Dari sana, seorang judoka naik tingkat menjadi kyu keempat, ketiga, kedua, dan akhirnya kyu pertama.”

Yasmin menarik nafas sebentar lalu melanjutkan
“Nah, setelah itu sistem penomoran dibalik menjadi dan pertama (shodan), kedua, dan seterusnya hingga dan kesepuluh, yang merupakan tingkatan tertinggi di judo. Meskipun demikian, sang pendiri, Jigoro Kano, mengatakan bahwa tingkatan judo tidak dibatasi hingga dan kesepuluh.”
“Dan tau ga mas, hingga saat ini hanya ada 15 orang yang pernah sampai ke tingkat dan kesepuluh, maka tidak ada yang pernah melampaui tingkat tersebut. Gila ya” Yasmin tampak sumringah.
“Mungkin kamu nanti yang bakal melampaui tingkatan itu” godaku

Yasmin tertawa geli sambil memukul lenganku pelan.
“Mana bisaaaaaa….??”
“Loh siapa tau kan? Yasmin bisa bikin sejarah baru “ Sambungku lagi.
“Hihihihi…udah ah..jangan godain Yasmin gitu.” Dia tertawa geli. Lalu wajahnya kembali serius.
“Salah satu yang masih kuingat adalah pesan dari sensei. Dia berkata : Judo wa kakutougi dawa nai. Sikasi kokoro to karada to tamasii ga hitotu desu. Mosi kimi ga dekirunonara kimi wa motto tuyokunaru.” Yasmin mengucapkannya dengan sempurna.

Aku terbengong.

“Artinya, Judo tidak hanya sekedar bela diri, tetapi adalah kesatuan dari hati, tubuh dan jiwa. Jika kita bisa melakukannya, maka kita akan semakin menjadi lebih kuat.” Jelasnya. Dia tersenyum.

Aku makin kagum kepadanya.
Dia bangkit berdiri “Aku mau mandi dulu ya. Makasih ya mas Totok mau menemani Yasmin latihan.” katanya, lalu berjalan masuk menuju rumah.
“Apapun demi kamu, Yas…” gumamku setelah Yasmin masuk ke rumah. Entah apa yang kurasakan ini. Berdekatan dengan Yasmin membuatku nyaman dan merasa bahagia. Bahkan rasanya aku ingin setiap saat bersamanya salalu. Jatuh cintakah aku? Tapi dia adalah sepupuku. ‘Apa bedanya? Semalam kamupun bersetubuh dengan Sinta, sepupumu’ ada suatu suara di dalam hatiku berkata.
Akupun merasa bersalah terhadap Yasmin, seakan aku berkhianat darinya.

Aku mendesah panjang lalu bangkit berdiri mulai membenahi matras-matras yg barusan kita pakai berlatih tadi. Setelah itu barulah aku membersihkan kandang si Jalu.

**

Demikian pula keesokan paginya, seperti jadi kegiatan rutin saja. Aku dengan suka rela menjadi patner berlatihnya. Sedikit-sedikit aku mulai memperlajari teknik-teknik dasar. Mulai dari Te-Waza (bantingan dengan tangan), lalu Koshi-waza (bantingan pinggang), dan Ashi-waza (bantingan dengan jegalan).

Yasmin dengan senang hati menunjukkan beberapa teknik counter dan pitingan di tanah. Counter mulai dari Nidan-Ko Soto Gari, lalu Ushiro –Goshi dsb. Kemudian dia juga mengajarkan beberapa teknik Osae-waza atau pitingan dibawah, mulai dengan Yoko-shiho-gatame (kuncian dari samping)lalu dilanjutkan dengan Tate-shiho-gatame (kuncian dari atas) dan lain-lain.
Sama sekali aku tidak berpikir yang tidak-tidak ketika dia beberapa kali menunjukkan jurus kuncian dan pitingan. Walaupun beberapa kali jelas-jelas payudara dan seluruh tubuhnya menempel erat padaku. Sungguh mengherankan. Sungguh aku tidak mau berpikiran kotor tentang Yasmin. Membayangkan wajahnya yang menatapku saja aku sudah berdebar. Matanya yang biru terasa hangat ketika menatapku langsung tanpa keraguan.

Plok…plok…plok
Tiba-tiba terdengar suara tepukan tangan. Berdua kami menoleh keaarah suara tadi. Setan itu!
“Bagus…bagus. Sebentar lagi gue bakal ada lawan nih” Sinta tertawa.
“Sin, kenapa sih kalau kamu ga menggodanya barang sebentar?” seru Yasmin ditengah nafasnya yang memburu. Saat ini dia berada diatas tubuhku melakukan gerakan Tate-Shiho-Gatame. Susunya menempel erat pada mukaku. Sesaat dia tersadar lalu melepaskan pitingannya.
“Kenapa kok elo yang jadi marah?” sahut Sinta gusar. “Lagian ngapain lo ngajarin teknik-teknik judo ama monyet kaya dia?” lanjutnya lagi.
“Sin, kenapa sih kamu ga isa diam sebentar. Kenapa selalu cari gara-gara denganku?” Akhirnya aku angkat suara.
“Haha…gue kaga cari gara-gara. Gue cari kesenangan saja” Dia bersiul. “Lagipula, masih perlu seratus tahun lagi lo bisa belajar judo, …you know….” sambungnya sambil memberikan isyarat menunjukkan jari telunjuk pada kepalanya.
“Sialan. Emang Cuma kamu aja yang pinter? Ingat diatas langit masih ada langit!” Aku berdiri dengan gusar. Menghampirinya.
“Apa? Mau praktek latihan lo? Sini, dengan senang hati gue ladenin” Sinta menantang sambil memasang kuda-kuda.
“Sudah…sudah…kalian berdua berhenti bertengkar kenapa?” Yasmin menghampiri kami sebelum terjadi ‘pertumpahan darah’
“Dia kan yang mulai duluan” kataku membela diri
“Sebodo amat” desis Sinta.
“Sudah mas, tolong beresin aja matrasnya. Aku juga sudah ga ada niat lagi ngelanjutin latihan.” 

Yasmin memandangku. Lalu menarik tangan Sinta masuk ke dalam rumah.
“Ga usah Yas. Aku mau disini aja. Kaga gue apa-apain kok monyet lo itu”

Aku membuka mulut hendak menanggapinya.
“Mas?” Yasmin memandangku memohonku untuk mengalah. Aku terdiam. Sinta tersenyum senang.

Yasmin masuk ke dalam rumah. Sedangkan aku berbalik untuk memberesi matras-matras buat latihan tadi. Tak kuhiraukan Sinta yang menatap punggungku.

Baru saja aku memasukkan matras terakhir kedalam gudang, Sinta menghampiriku di dalam gudang.
“Kemana lo semalam? Gue cari ga ada?” tanyanya
“Emang apa urusanmu goleki(cari) aku?” aku menyeka keringat di dahiku. Memandangnya. Heran, kemana wajah sinis tadi?
“Goblok! Kemaren kan ada kesempatan. Bulik Tin ma mama lagi pergi, Yasmin lagi tidur. Lah malah elo ngilang” desisnya gusar.
“Ya ampun Sin, yang kita lakuin kemarin lusa tu udah salah. Aku ga mau mengulanginya lagi!”
“Oya? Bagaimana dengan ini?” jawabnya. Secepat kilat tangannya masuk kedalam celana kolorku tanpa sempat kucegah. Mengocok lembut manukku. Aku terkesiap kaget.
“Sin! Yasmin ada di dalam!” seruku gusar sambil memegang tangannya untuk keluar dari celana kolorku.
“Emang kenapa kalo dia tau? “ sahutnya dengan penuh arti. Tangannya makin kencang memegang manukku.
“Edan kowe(Gila kamu!). Yasmin adikmu! Aku iso dipateni(bisa dibunuh) mamamu kalo dia juga tau!” Desisku.

Sinta tidak menjawab. Senyumnya penuh arti. “Mama tau pun ga masalah” tantangnya. Tangannya bergerak melolosi celanaku. Asal gue bisa bersama pelermu, matipun aku rela” bisiknya. Bibirnya mulai menyentuh bibirku. Aku mengelak.
“Jangan sekarang.” Tolakku. Goblok. Pilihan kata yang salah. Dia pasti berharap ada lain kali.
“Oya? Lalu kenapa ***** lo minta sekarang?” godanya sambil terus mengocok manukku yang sudah tegang.

Kuakui tangannya memang benar-benar terampil. Aku melenguh.
Hampir saja aku kalah dengan nafsu. Kukuatkan diriku lalu menarik tangan Sinta
“Sudah Sin. Mikir kenapa? Sek enek wektu ngko wae (masih ada waktu, nanti saja). Jangan mainan bahaya gini.” Bisikku di telinganya.

Heran. Sinta terdiam sejenak lalu menarik tangannya keluar dari celanaku. Dia menurut.
“OK. We’ll see later” jawabnya, mengecup bibirku lalu beranjak keluar dari gudang.

Aku menarik nafas lega. Hampir saja. Fiuuuhhh…

Malam itu untuk menghindari Sinta, aku mengajak Yasmin berjalan-jalan keluar, menikmati indahnya bulan purnama. Kami berjalan melewati persawahan yang ramai dengan suara binatang malam.
“Wonderful!” bisiknya pelan sambil berjalan disampingku.
“Apa?” tanyaku tak mengerti.
“Ga. Ini sangat indah. Berjalan di bawah bulan purnama, mendengarkan alunan musik dari binatang-binatang malam di tengah sawah. Sangat indah bukan?” katanya sambil tersenyum memandangku.
“Yup. Memang. Aku kadang kala juga senang berjalan sendiri untuk menikmati keindahan malam seperti ini.” Aku menerawang ke atas. Bintang-bintang bertaburan.
“Aku senang karena aku pindah kesini mas. Di Jakarta mana bisa kita menikmati malam seperti ini. Yang ada malah stress dan pusing di jalanan. Stress pekerjaan. Bahkan seandainya papa…..” Yasmin tertunduk diam.

Aku memandangnya. Pasti dia ingat mengenai papanya.
“Sudahlah Yas. Itu sudah berlalu. Sekarang kehidupan harus terus berjalan. Semakin lama kamu mengingatnya, semakin sakit kamu rasakan” Kataku.

Yasmin mengangkat kepalanya. Dia memaksakan diri tersenyum. Kami kembali berjalan
“Yah, tidak seharusnya aku begini. Mas Totok bahkan lebih tegar dariku. Padahal mas Cuma hidup berdua dengan bulik Tin.” Dia mendesah panjang, meraih tanganku, digandeng dan dipeluk di dadanya.

Darahku berdesir kencang. Jantungku berdebar makin cepat.
Sesaat kami berjalan bergandengan dengan diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Mas…eh…maaf. Selama ini Yasmin lihat mas Totok kok belum punya pacar? Kenapa?” Tanya Yasmin tiba-tiba.

Sesaat aku gelagapan. Pacaran? Aku belum pernah berpikir sejauh itu. Lagi pula belum pernah ada gadis yang singgah dihatiku, kecuali…sekarang.
“Belum. Ya mana ada yang mau sama laki-laki jelek kaya aku gini yas.” Jawabku kecut.

Yasmin tertawa geli.
“Kok ketawa?”
“Abis lucu sih mas. Cewek bodoh kalo ga mau sama mas Totok. Mas tuh baek, gagah, ganteng, juga..”
“Sudah..sudah…jangan bikin aku besar kepala” potongku. Wajahku memerah malu.

Yasmin tersenyum, tangannya makin erat memeluk lenganku
“Bahkan walaupun Sinta sering kali memaki dan menggoda, dia pun sebenarnya suka sama mas” bisiknya tepat ditelingaku.
“Hah? Hahahaha..Ga mungkin! Sinta tu jelas benci banget sama aku” jawabku gugup.
“Yasmin tau kok.” Matanya mengerling penuh arti.

Jantungku seakan berhenti berdetak. Apa yang dia tau?
“Never mind, don’t think about that” Yasmin tertawa geli melihat mukaku yang makin gugup. Kami berjalan lagi. Hatiku dipenuhi tanda tanya.

Yasmin merapatkan tubuhnya kepadaku. Aku terdiam, kuberanikan diri merangkul bahunya. Tidak ada penolakan. Kami berjalan berangkulan.
“Mas?” Yasmin membuka suaranya di tengah keheningan suara kami.
“Ya?” kupandang wajahnya.

Sesaat dia ragu-ragu untuk melanjutkan.
“Apa mas pernah menyukai seseorang?” bisiknya ragu.
‘Iya, aku suka kamu’ Tapi suaraku tidak keluar
“Ga tau Yas. Aku juga belum pernah berpacaran” jawabku tercekat.

Yasmin terdiam sejenak lalu melanjutkan
“Mas suka sama Yasmin ga?” bisiknya lagi

Pertanyaannya bagaikan geledek di kupingku. Sejenak aku terdiam membisu.
“Ya. Aku suka sama kamu. Kamu selalu baik sama aku, kamu..”
“Hanya suka?” potongnya.

Mati aku! Skak Mat! Bibirku bergetar, tidak tau apa yang harus kukatakan. Opo iki jenenge tresno jalaran soko kulino?(Apa ini yang dinamakan cinta karena terbiasa bersama?)

Yasmin menghembuskan nafas panjang. “Nanti mas kecewa kalau mas cinta sama Yasmin” lanjutnya.
“Tidak!” sahutku cepat. Sesaat aku tersadar apa yang kukatakan itu sama saja mengakui kalau aku cinta dia. O Tuhan!

Yasmin memandangku lurus tepat ke mataku. Bagiku seakan-akan ada ribuan jarum menusuk jantungku. Dia tersenyum.
“Terima kasih mas. Mas sudah jujur sama Yasmin.” Dia memajukan kepalanya lalu mengecup pipiku lembut. Bibirnya basah. Aku merasa terbang di langit.
“Kenapa aku mesti kecewa? Yas, kamu tu berbeda dari semua gadis yang pernah aku kenal. Kamu itu anugerah!” Bodohnya! Gombal banget yang aku ucapin.

Yasmin menaruh jari telunjuknya di bibirku
“Shhh…sudah mas. Yasmin sudah mengerti kok. Hanya Yasmin takut saja kalo mas kecewa dengan Yasmin” jawabnya.

Aku terdiam. Kecewa kenapa? Ada apa? Selama ini gadis inilah yang menurutku terbaik diantara semuanya!

Aku menghentikan langkahku. Yasmin terdiam memandangku. Kuberanikan diri mengecup dahinya. Bibirku gemetar. Dia tersenyum, tersipu.
“Aku sayang ama kamu Yas, apapun yang terjadi!” kataku dengan suara serak. Kupandangi wajahnya lalu kutaruh kedua tanganku di pipinya. Bibirnya setengah terbuka. Kucium lembut sekali. Tubuhnya menegang sesaat. Dia menyambutku.

Malam semakin larut, hanya cahaya rembulan dan musik dari binatang malam di sekitar kami. Tubuh kami saling merapat.

Aku bersiul-siul menuju halaman belakang. Pagi ini sungguh indah. Aku tersenyum mengingat kejadian semalam. Yasmin…oh Yasmin….aku bersenandung dalam hati.

Brak!
Tubuhku tergencet di dinding gudang. Sinta! Tubuhnya menggencetku, sekejap tangannya sudah memiting tanganku kebelakang.
“Kali ini lo ga isa menghindar dari gue.” Bisiknya ditelingaku. “Kemana aja lo semalam? Dengan Yasmin ya?” semburnya.
“Bukan urusanmu” Jawabku singkat. Aku meringis ketika Sinta mengencangkan pitingannya.

Anehnya dia tak menjawab apa-apa. Sinta malah melepasku. Dia membalikkan tubuhku berhadapan dengannya.
“Ok lets finish this! Gue dah capek kaya gini.” Nafasnya memburu. Tangannya menarikku masuk ke dalam rumah.
“Mau apaan sih kamu?” kataku gusar. Mau tak mau aku mengikutinya.

Dia berjalan menuju ke kamarnya. Menarikku masuk.
“Sin, sudah kubilang. Kita ga bakal ngelakuin itu lagi. Cukup kesalahan yang aku buat, jadi…” aku tidak sempat meneruskan kata-kataku bibirnya menyumpal mulutku. Aku hendak menghindar, ketika kurasakan ada rasa asin diujung bibirku. Air mata!

Sinta menangis! Bibirnya erat menempel di bibirku, lidahnya menari mencari jalan masuk ke mulutku. Aku terdiam kaku.
“Apa elo segitu bencinya sama gue sih?” Suaranya serak di telingaku. Tangannya memeluk erat leherku. Aku terdiam.
“Gue tu cuman ingin elo care dikit ama gue. Segitu sulitkah?” bisiknya. Matanya yang basah manatapku. Sungguh aku terpana. Inikah Sinta? Gadis tomboy yang kukenal liar dan kasar?
“Dan elo tau ga? Cuman elo yang pertama kali menyentuh gue! Laki-laki pertama yang pernah gue ijinkan menyentuh gue!” lanjutnya serak. Aku makin terpaku.
“Sin..” Aku bingung mau berkata apa. Tanganku membelai pipinya yang basah, menghapus air mata disana. Aku tidak mempersiapkan kejadian kaya gini.

Dari langit diatas, sampai dalamnya lautan, Aku tidak pernah merasakan segila ini.
Sejak engkau datang di hidupku, kamu membuatku bersinar seperti bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Please jadilah cintaku….jadilah malaikat kecil di hatiku.
“Gue tau elo benci ama gue, elo tu cuman care ama Yasmin kan? Bulik Tin? Mama? Apa gue ga pantas untuk lo cintai?” bisiknya serak.
“Bukan begitu…” aku terdiam, tidak sanggup meneruskan kata-kataku. Segala bentuk kebencianku terhadapnya tiba-tiba lenyap tak berbekas.
“Gue tu cinta elo. Gue sayang elo!” Sinta berbisik .
“Tapi Sin, aku…”
“Mas, cintailah mbak Sinta seperti mas Totok mencintaiku” Tiba-tiba suatu suara memotong perkataanku. Yasmin! ‘Waduh, iso perang ki’

Kami berdua menengok kearah suara, tampak Yasmin berjalan kearah kami dengan berurai air mata.
“Yas…” suaraku tercekat. Sinta melepas pelukanku, memandang adiknya dengan pandangan tidak percaya.
“Ssshh….sudah…ga usah bicara lagi. Yasmin ga marah” Yasmin memeluk kami berdua, wajahnya tersenyum dibalik air matanya yang mengalir. “Justru Yasmin bahagia….”
“Yas, bukan maksud gue untuk…” Sinta tidak meneruskan kata-katanya, Yasmin mencium lembut bibirnya. Aku bengong melihat melihat bibir si kembar bertaut.
“Sudahlah kak, Yasmin ikhlas, Yasmin cinta kalian berdua, sayang dengan kalian berdua”

Aku tak tahu harus berbicara apa, tenggorokanku terasa kering, mukaku terasa panas. Perasaan apakah ini? Dia memandangku dan Sinta bergantian. Matanya yang sebening telaga tampak basah oleh air mata. Tetapi wajahnya tak menampakkan sedikitpun kekecewaan atau kemarahan. Sungguh aku tak mengerti.
“Mas, Yasmin mohon, biarkan mbak Sinta bisa mencintai mas seperti Yasmin mencintai mas. Dan sebaliknya, cintailah mbak Sinta seperti mas mencintai Yasmin….” bisiknya lirih.
“Tapi Yas…aku tidak bisa pindah dari hatimu” kata-kataku terdengar serak
“Hei…siapa bilang begitu? Mas memiliki kami berdua!” katanya sambil tersenyum

Aku hampir tidak percaya apa yang barusan kudengar.
“Apa yas?”
“Iya, mas Totok boleh memiliki kami berdua, mencintai kami berdua. Artinya Yasmin dan mbak Sinta mau berbagi kasih dengan mas. Bukan begitu mbak?”

Sinta mencium Yasmin, lalu berpaling kepadaku. “Denger ga lo say? Kita sekarang menjadi sepasang…eh..rrr..bingung gimana nyebutnya. Intinya gue dan Yasmin jadi pacar elo!”

Sehabis berkata begitu Sinta mencium bibirku. Aku mengelak, bagaimanapun juga aku masih bingung dengan kejadian yang tiba-tiba ini.
“Mas?” bisik Yasmin “Please”

Sinta kembali mencari bibirku. Kali ini aku menyambutnya. Lidah kami saling membelit. Ujung mataku melirik Yasmin, dia memandangku dengan penuh cinta.

Kulepas ciumanku dengan Sinta, aku berpaling kepada Yasmin. Dia menyambutku, hangat dan basah. Rasa asin bekas air mata diujung bibirnya membuatku sempat ragu-ragu, tetapi, sekali lagi aku terkejut, lidah Yasmin menari di dalam rongga mulutku. Tangannya merangkul erat leherku.

Kurasakan tangan Sinta mulai menarik celana kolorku turun. Sesaat aku meronta, tetapi Yasmin kembali menahanku. Kini Sinta dengan leluasa menarik kolorku hingga sampai mata kaki. Manukku terpampang bebas. Tanpa membuang waktu, seperti biasa, Sinta kembali mengurut-urut dan mengocok lembut batang manukku. Aku mengeluh pelan ditengah-tengah ciumanku dengan Yasmin.
Sungguh tak pernah kubayangkan kejadian seperti ini! Dimana aku kini berada-ditengah-tengah saudara kembar yang rela berbagi kasih denganku. Laki-laki mana yang lebih beruntung dari aku?

Sesaat aku dan Yasmin melepaskan ciuman kami, aku mengambil nafas, terengah-engah aku memandang mata Yasmin yang kini sudah setengah terpejam. Aku menciumi lehernya yang jenjang, kukeluarkan lidahku, menari di permukaan kulit putihnya. Yasmin mengerang. Kepalanya terdongak sesaat seakan memberiku akses lebih leluasa.

Kuturunkan kepalaku, melewati lehernya yang jenjang. Lidahku tetap menari.
Seakan paham, tangan Yasmin mulai melepas kancing kemejanya satu persatu. Aku terdiam, kini tubuh Yasmin terpampang jelas dihadapanku. Susunya masih dibungkus dengan branya yang berenda. Dia tersenyum, sambil membuka kancing branya. Aku terpukau ketika melihat kedua susunya yang benar-benar sempurna. Tidak terlalu besar, tapi kencang dan membulat sempurna, puting-putingnya berdiri menantang.

Sesaat aku mengejang. Sinta mengoralku! Mulutnya bekerja dengan konstan maju mundur di seluruh batang manukku. Aku melenguh pendek…mulutku sudah tersumpal kembali oleh ciuman Yasmin

Perlahan, tubuhku dibaringkan ke ranjang oleh Yasmin, seakan tidak mau ingin lepas dari ‘buruan’nya, Sinta tetap memainkan lidah dan mulutnya di manukku. Dengan tergesa dia juga melolosi seluruh pakaian yang dikenakannya hingga telanjang bulat.
Tanpa dikomando lagi Sinta menaiki tubuhku, lalu menurunkan pinggulnya perlahan-lahan. Yasmin menggengam manukku untuk membantunya masuk ke dalam liang vagina kakaknya. Perlahan manukku mulai membelah liang vagina Sinta hingga masuk seluruhnya. Ugh! Benar-benar membuatku terbang ke surga!

Sinta mulai menggoyangkan pinggulnya naik, sesekali dia memutar-mutarkan pinggulnya. Kembali mulutku mencari payudara Yasmin. Menjilati puting-puting susunya. Yasmin merintih pelan.
“Auh….hmm…”

Seperti biasa, Sinta bergerak liar, mulutnya tak henti-hentinya mengerang hebat.
“Yesssss…..f*ck me!!…f*ck me!….Oh…god..soo……good…..”

Aku melayang! Bagaimana tidak? Aku bercinta dengan kedua gadis kembar yang mirip bidadari turun dari langit ke tujuh.

Sesaat aku menghentikan ciuman dan jilatanku pada puting susu Yasmin. Aku mendongakkan kepala mencari bibirnya. Dia tersenyum, matanya penuh cinta menatapku. Disambutnya bibirku dengan perlahan.

Sinta menggabungkan diri ditengah ciuman kami, aku sempat kelabakan meladeni ciuman ganasnya. Lidah kami saling membelit. Sementara itu Yasmin menjilati daun telingaku dan leherku.

Aku terengah-engah menghirup udara ketika Sinta melepaskan ciumannya. Dia terkikik geli melihatku hampir mati kehabisan nafas. Aku membalasnya dengan meremas-remas lembut kedua susunya, sambil kunaik turunkan pinggulku dengan tempo cepat.
“Aaaaa…….yesss!!! Terus!!!….oooohhh….Yeaaaaaaaaahhhh…i’m cumiiiinggg!” Sinta berteriak kesetanan ketika dia mendapatkan orgasme pertamanya. Tanpa mengurangi tempo kugenjot tubuhnya dari bawah. Membuat dia terlonjak-lonjak ditengah gelombang orgasmenya.

Yasmin mengedipkan mata kepadaku lalu bangkit lalu dia ‘menyerang’ kedua susu kakaknya.
“O my god…o my….Oh Sh*t…!!! Aw….i’m cuuuming again!” Sekali lagi Sinta menggelinjang. Dia meraih kepala Yasmin lalu menariknya. Mereka berciuman. Wow!

Sesaat kemudian Sinta bangkit dari tubuhku, lalu terkapar disebelahku.
“Awesome…!! O…my god…” Dia tertawa ditengah nafasnya yang memburu. Mencium pipiku dengan sayang “ Thanks bro!”

Aku beralih kepada Yasmin. Seakan mengerti, dia membaringkan tubuhnya disebelah kakanya menggantikan tempatku. Aku memandangnya dengan penuh cinta sambil menurunkan pinggulku perlahan-lahan.

Pelan tapi pasti manukku mulai memasuki liang vaginanya. Yasmin terpejam, dia menggigit bibir bawahnya.

Ya Tuhan! Aku sudah bersatu raga dengan Yasmin! Gadisku yang kucinta! Sungguh menakjubkan!
“Mas…” suaranya terdengar serak, bibirnya terbuka tanpa ada kata-kata. Matanya meredup. Tangannya merangkul erat leherku.
Perlahan kugerakkan pinggulku. Yasmin mengejang, dia terengah.

Sungguh, dengan memandang wajahnya saja, bagaikan berada di surga! Pipinya kemerahan, bibirnya yang sensual setengah terbuka mengeluarkan rintihan-rintihan halus, matanya setengah terpejam meresapi kenikmatan persetubuhan kami.

Kugerakkan pinggulku dengan perlahan-lahan, dinding-dinding vaginanya mencengkeram erat manukku, mengurut seluruh batang manukku. Hangat dan nikmat luar biasa. Aku mengerang.

Tanpa kusadari Sinta bangkit, lalu menuju kebawah. Sesaat aku terkesiap, ketika kurasakan lidahnya menyapu kantong telurku, menjilati dan menghisap-hisap lembut kedua telurku.

Oh Tuhan! Betapa nikmatnya! Betapa menakjubkannya!

Sambil menghisap dan menjilatinya, Sinta memasukkan jarinya ke dalam lubang anusku perlahan-lahan. Lalu memainkannya, memaju mundurkan dan memutar-mutarkannya di lubang anusku. Aku semakin meradang! Menggigil oleh nikmat yang mengalir di seluruh pembuluh darahku!

Dengan berirama aku menggoyangkan pinggulku. Bibir kami bertaut. Saling membelit. Suasana jadi hening, hanya suara kecipak alat kelamin kami dan nafas-nafas kami bertiga yang memburu.

Sinta meraih manukku dan melepaskan sesaat dari vagina Yasmin. Aku hendak protes ketika mulutnya membungkus kembali manukku. Dikocok-kocoknya perlahan sambil disedotinya seluruh batang manukku. Lalu dengan tangkas dia mengembalikan kembali ke liang vagina adiknya. Beberapa kali dia melakukan hal tersebut.
“Oh…mas….oooooohh….” Yasmin meraih orgasme pertamanya. Tubuhnya sesaat menggelinjang, dinding-dinding vaginanya mencengkeram erat!

Aku tak dapat menhannya lebih lama!
Seluruh syaraf kenikmatanku beralih, berpusat pada daerah selakanganku! Aku mengejang!
“Jangan dikeluarin di dalem!” Sinta berkata melihat gelagatku yang hendak berejakulasi.

Aku tersadar, kucabut penisku, belum sempat aku bangkit, Sinta menyambut penisku di mulutnya. Tanpa dapat kutahan lagi, muncratlah spermaku kedalam mulutnya. Aku serasa terbang ke angkasa! Yasmin mengulum bibirku, membuat gelombang orgasmeku semakin menghebat!

Aku rebah terlentang bersebelahan dengan Yasmin, nafas kami masih memburu, mataku terpejam meresapi sisa-sisa kenimatan yang baru saja kami dapat. Sementara Sinta masih sibuk menjilati seluruh batang manukku, membersihkannya.
“Thanks ya mas…” bisik Yasmin lirih, perlahan dia mengecup pipiku. Aku masih belum bisa berkata apa-apa. Ini terlalu menakjubkan!

Kemudian Sinta mengangkat tubuhnya, dengan manja dia mengecupku.
“Wow…that f*cking awesome! O my god! We did it!”

Yasmin tertawa geli melihat Sinta yang begitu bersemangat.
Aku menarik tangan Sinta, kupeluk tubuhnya dan kucium lembut bibirnya.
“Kamu benar-benar menakutkan Sin!” kataku tertawa geli. Dia menanggapinya dengan mencibirkan bibirnya. Yasmin mengangkat tubuhnya lalu memeluk kami berdua.
“Aku sayang ma kalian berdua” Bisiknya lirih. Pertama dia mengecup bibirku lalu beralih ke bibir Sinta.

Kami bertiga tergeletak kelelahan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

TAMAT.

Related posts