Cerita Dewasa – Nikmatnya Cairan Cinta Kepala Accounting Kantorku

BosheDewasa – Nikmatnya Cairan Cinta Kepala Accounting Kantorku. Mbak Lia kurang lebih gres 2 ahad bekerja sebagai atasanku sebagai Accounting Manager. Sebagai atasan baru, ia sering memanggilku ke ruang kerjanya untuk menjelaskan overbudget yang terjadi pada bulan sebelumnya, atau untuk menjelaskan laporan mingguan yang kubuat. Aku sendiri sudah termasuk staf senior. Tapi mungkin alasannya yaitu latar belakang pendidikanku tidak cukup mendukung, management memutuskan merekrutnya. Ia berasal dari sebuah perusahaan konsultan keuangan.

Usianya kutaksir sekitar 22 hingga 25 tahun. Sebagai atasan, sebelumnya kupanggil “Bu”, walau usiaku sendiri 4 tahun di atasnya. Tapi atas permintaannya sendiri, seminggu yang lalu, ia menyampaikan lebih suka bila di panggil “Mbak”. Sejak ketika itu mulai terbina suasana dan korelasi kerja yang hangat, tidak terlalu formal. Terutama alasannya yaitu sikapnya yang ramah. Ia sering pribadi menyebut namaku, sesekali bila sedang bersama rekan kerja lainnya, ia menyebut “Pak”.
Cerita Dewasa – Nikmatnya Cairan Cinta Kepala Accounting Kantorku
Dan tanpa kusadari pula, belakang layar saya merasa betah dan nyaman bila memandang wajahnya yang elok dan lembut menawan. Ia memang menawan alasannya yaitu sepasang bola matanya sewaktu-waktu sanggup berbinar-binar, atau menatap dengan tajam. Tapi di balik itu semua, ternyata ia suka mendikte. Mungkin dikarenakan telah menduduki jabatan yang cukup tinggi dalam usia yang relatif muda, kepercayaan dirinya pun cukup tinggi untuk menyuruh seseorang melakukan apa yang diinginkannya.

Mbak Lia selalu berpakaian formal. Ia selalu mengenakan blus dan rok hitam yang agak menggantung sedikit di atas lutut. Bila sedang berada di ruang kerjanya, belakang layar saya pun sering memandang lekukan pinggulnya ketika ia bangun mengambil file dari rak folder di belakangnya. Walau bab bawah roknya lebar, tetapi saya sanggup melihat pinggul yang kurang jelas tercetak dari baliknya. Sangat menarik, tidak besar tetapi terang bentuknya membongkah, memaksa mata lelaki menerawang untuk mereka-reka keindahannya.

Di dalam ruang kerjanya yang besar, persis di samping meja kerjanya, terdapat seperangkat sofa yang sering dipergunakannya mendapatkan tamu-tamu perusahaan. Sebagai Accounting Manager, tentu selalu ada pembicaraan-pembicaraan ‘privacy’ yang lebih nyaman dilakukan di ruang kerjanya daripada di ruang rapat.

Aku merasa beruntung bila dipanggil Mbak Lia untuk membahas cash flow keuangan di dingklik sofa itu. Aku selalu duduk persis di depannya. Dan bila kami terlibat dalam pembicaraan yang cukup serius, ia tidak menyadari roknya yang agak tersingkap. Di situlah keberuntunganku. Aku sanggup melirik sebagian kulit paha yang berwarna gading. Kadang-kadang lututnya agak sedikit terbuka sehingga saya berusaha untuk mengintip ujung pahanya.

Tapi mataku selalu terbentur dalam kegelapan. Andai saja roknya tersingkap lebih tinggi dan kedua lututnya lebih terbuka, tentu akan sanggup kupastikan apakah bulu-bulu halus yang tumbuh di lengannya juga tumbuh di sepanjang paha hingga ke pangkalnya. Bila kedua lututnya rapat kembali, lirikanku berpindah ke betisnya. Betis yang indah, higienis dan terawat. Ketika saya terlena menatap kakinya, tiba-tiba saya dikejutkan oleh pertanyaan Mbak Lia..

“Jhony, saya merasa bahwa kamu sering melirik ke arah betisku. Apakah dugaanku salah?” Aku termangu sejenak sambil tersenyum untuk menyembunyikan jantungku yang tiba-tiba berdebar.

“Jhony, salahkah dugaanku?”

“Hmm.., ya, benar Mbak,” jawabku mengaku, jujur. Mbak Lia tersenyum sambil menatap mataku.

“Mengapa?”

Aku membisu. Terasa sangat berat menjawab pertanyaan sederhana itu. Tapi ketika menengadah menatap wajahnya, kulihat bola matanya berbinar-binar menunggu jawabanku.
Cerita Dewasa – Nikmatnya Cairan Cinta Kepala Accounting Kantorku
“Saya suka kaki Mbak. Suka betis Mbak. Indah. Dan..,” sesudah menarik nafas panjang, kukatakan alasan sebenarnya.

“Saya juga sering menduga-duga, apakah kaki Mbak juga ditumbuhi bulu-bulu.”

“Persis menyerupai yang kuduga, kamu niscaya berkata jujur, apa adanya,” kata Mbak Lia sambil sedikit mendorong kursinya.

“Agar kamu tidak ingin tau menduga-duga, bagaimana kalau kuberi kesempatan memeriksanya sendiri?”

“Sebuah kehormatan besar untukku,” jawabku sambil membungkukan kepala, sengaja sedikit bercanda untuk mencairkan pembicaraan yang kaku itu.

“Kompensasinya apa?”

“Sebagai rasa hormat dan tanda terima kasih, akan kuberikan sebuah ciuman.”

“Bagus, saya suka. Bagian mana yang akan kamu cium?”

“Betis yang indah itu!”

“Hanya sebuah ciuman?”

“Seribu kali pun saya bersedia.”

Mbak Lia tersenyum manis. Ia berusaha manahan tawanya.

“Dan saya yang memilih di bab mana saja yang harus kamu cium, OK?”

“Deal, my lady!”

“I like it!” kata Mbak Lia sambil bangun dari sofa.

Ia melangkah ke mejanya kemudian menarik kursinya hingga ke luar dari kolong mejanya yang besar. Setelah menghempaskan pinggulnya di atas dingklik kerjanya yang besar dan empuk itu, Mbak Lia tersenyum. Matanya berbinar-binar seolah menaburkan sejuta pesona birahi. Pesona yang membutuhkan sanjungan dan pujaan.

“Periksalah, Jhony. Berlutut di depanku!” Aku membisu. Terpana mendengar perintahnya.

“Kau tidak ingin memeriksanya, Jhony?” tanya Mbak Lia sambil sedikit merenggangkan kedua lututnya.

Sejenak, saya berusaha meredakan debar-debar jantungku. Aku belum pernah diperintah menyerupai itu. Apalagi diperintah untuk berlutut oleh seorang wanita. Bibir Mbak Lia masih tetap tersenyum ketika ia lebih merenggangkan kedua lututnya.

“Jhony, kamu tahu warna apa yang tersembunyi di pangkal pahaku?” Aku menggeleng lemah, seolah ada kekuatan yang tiba-tiba merampas sendi-sendi di sekujur tubuhku.

Tatapanku terpaku ke dalam keremangan di antara celah lutut Mbak Lia yang meregang. Akhirnya saya bangun menghampirinya, dan berlutut di depannya. Sebelah lututku menyentuh karpet. Wajahku menengadah. Mbak Lia masih tersenyum. Telapak tangannya mengusap pipiku beberapa kali, kemudian berpindah ke rambutku, dan sedikit menekan kepalaku biar menunduk ke arah kakinya.

“Ingin tahu warnanya?” Aku mengangguk tak berdaya.

“Kunci dulu pintu itu,” katanya sambil menunjuk pintu ruang kerjanya. Dan dengan patuh saya melakukan perintahnya, kemudian berlutut kembali di depannya.

Mbak Lia menopangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya. Gerakannya lambat menyerupai bermalas-malasan. Pada ketika itulah saya menerima kesempatan memandang hingga ke pangkal pahanya. Dan kali ini tatapanku terbentur pada secarik kain tipis berwarna putih. Pasti ia menggunakan G-String, kataku dalam hati. Sebelum paha kanannya benar-benar tertopang di atas paha kirinya, saya masih sempat melihat bulu-bulu ikal yang menyembul dari sisi-sisi celana dalamnya. Segitiga tipis yang hanya selebar kira-kira dua jari itu terlalu kecil untuk menyembunyikan semua bulu yang mengitari pangkal pahanya. Bahkan sempat kulirik bayangan lipatan bibir di balik segitiga tipis itu.

“Suka?” Aku mengangguk sambil mengangkat kaki kiri Mbak Lia ke atas lututku.

Ujung hak sepatunya terasa agak menusuk. Kulepaskan klip tali sepatunya. Lalu saya menengadah. Sambil melepaskan sepatu itu. Mbak Lia mengangguk. Tak ada komentar penolakan. Aku menunduk kembali. Mengelus-elus pergelangan kakinya. Kakinya mulus tanpa cacat. Ternyata betisnya yang berwarna gading itu mulus tanpa bulu halus. Tapi di bab atas lutut kulihat sedikit ditumbuhi bulu-bulu halus yang agak kehitaman. Sangat kontras dengan warna kulitnya. Aku terpana. Mungkinkah mulai dari atas lutut hingga.., hingga.. Aah, saya menghembuskan nafas. Rongga dadaku mulai terasa sesak. Wajahku sangat erat dengan lututnya. Hembusan nafasku ternyata menciptakan bulu-bulu itu meremang.

“Indah sekali,” kataku sambil mengelus-elus betisnya. Kenyal.

“Suka, Jhony?” Aku mengangguk.

“Tunjukkan bahwa kamu suka. Tunjukkan bahwa betisku indah!”

Aku mengangkat kaki Mbak Lia dari lututku. Sambil tetap mengelus betisnya, kuluruskan kaki yang menekuk itu. Aku sedikit membungkuk biar sanggup mengecup pergelangan kakinya. Pada kecupan yang kedua, saya menjulurkan pengecap biar sanggup mengecup sambil menjilat, merasakan kaki indah itu. Akibat kecupanku, Mbak Lia menurunkan paha kanan dari paha kirinya. Dan tak sengaja, kembali mataku terpesona melihat bab dalam kanannya. Karena ingin melihat lebih jelas, kugigit bab bawah roknya kemudian menggerakkan kepalaku ke arah perutnya. Ketika melepaskan gigitanku, kudengar tawa tertahan, kemudian ujung jari-jari tangan Mbak Lia mengangkat daguku. Aku menengadah.

“Kurang jelas, Jhony?” Aku mengangguk.

Mbak Lia tersenyum bandel sambil mengusap-usap rambutku. Lalu telapak tangannya menekan bab belakang kepalaku sehingga saya menunduk kembali. Di depan mataku kini terpampang keindahan pahanya. Tak pernah saya melihat paha semulus dan seindah itu. Bagian atas pahanya ditumbuhi bulu-bulu halus kehitaman. Bagian dalamnya juga ditumbuhi tetapi tidak selebat bab atasnya, dan warna kehitaman itu agak memudar. Sangat kontras dengan pahanya yang berwarna gading.
Cerita Dewasa – Nikmatnya Cairan Cinta Kepala Accounting Kantorku
Aku merinding. Karena ingin melihat paha itu lebih utuh, kuangkat kaki kanannya lebih tinggi lagi sambil mengecup bab dalam lututnya. Dan paha itu semakin jelas. Menawan. Di paha bab belakang mulus tanpa bulu. Karena gemas, kukecup berulang kali. Kecupan-kecupanku semakin usang semakin tinggi. Dan ketika hanya berjarak kira-kira selebar telapak tangan dari pangkal pahanya, kecupan-kecupanku bermetamorfosis ciuman yang panas dan basah.

Sekarang hidungku sangat erat dengan segitiga yang menutupi pangkal pahanya. Karena sangat dekat, walau tersembunyi, dengan terang sanggup kulihat bayangan bibir kewanitaannya. Ada segaris kebasahan terselip membayang di bab tengah segitiga itu. Kebasahan yang dikelilingi rambut-rambut ikal yang menyelip dari kiri kanan G-stringnya. Sambil menatap pesona di depan mataku, saya menarik nafas dalam-dalam. Tercium aroma segar yang membuatku menjadi semakin tak berdaya. Aroma yang memaksaku terperangkap di antara kedua belah paha Mbak Lia. Ingin kusergap aroma itu dan menjilat kemulusannya.

Mbak Lia menghempaskan kepalanya ke sandaran kursi. Menarik nafas berulang kali. Sambil mengusap-usap rambutku, diangkatnya kaki kanannya sehingga roknya semakin tersingkap hingga tertahan di atas pangkal paha.

“Suka Jhony?”

“Hmm.. Hmm..!” jawabku bergumam sambil memindahkan ciuman ke betis dan lutut kirinya.

Lalu kuraih pergelangan kaki kanannya, dan meletakkan telapaknya di pundakku. Kucium lipatan di belakang lututnya. Mbak Lia menggelinjang sambil menarik rambutku dengan manja. Lalu ketika ciuman-ciumanku merambat ke paha bab dalam dan semakin usang semakin mendekati pangkal pahanya, terasa tarikan di rambutku semakin keras. Dan ketika bibirku mulai mengulum rambut-rambut ikal yang menyembul dari balik G-stringnya, tiba-tiba Mbak Lia mendorong kepalaku.

Aku tertegun. Menengadah. Kami saling menatap. Tak usang kemudian, sambil tersenyum menggoda, Mbak Lia menarik telapak kakinya dari pundakku. Ia kemudian menekuk dan meletakkan telapak kaki kanannya di permukaan kursi. Pose yang sangat memabukkan. Sebelah kaki menekuk dan terbuka lebar di atas kursi, dan yang sebelah lagi menjuntai ke karpet.

“Suka Jhony?”

“Hmm.. Hmm..!”

“Jawab!”

“Suka sekali!”

Pemandangan itu tak lama. Tiba-tiba saja Mbak Tia merapatkan kedua pahanya sambil menarik rambutku.

“Nanti ada yang melihat bayangan kita dari balik kaca. Masuk ke dalam, Jhony,” katanya sambil menunjuk kolong mejanya.

Aku terkesima. Mbak Lia merenggut bab belakang kepalaku, dan menariknya perlahan. Aku tak berdaya. Tarikan perlahan itu tak bisa kutolak. Lalu Mbak Lia tiba-tiba membuka ke dua pahanya dan mendaratkan verbal dan hidungku di pangkal paha itu. Kebasahan yang terselip di antara kedua bibir kewanitaan terlihat semakin jelas. Semakin basah. Dan di situlah hidungku mendarat. Aku menarik nafas untuk menghirup aroma yang sangat menyegarkan. Aroma yang sedikit menyerupai daun pandan tetapi bisa membius saraf-saraf di rongga kepala.

“Suka Jhony?”

“Hmm.. Hmm..!”

“Sekarang masuk ke dalam!” ulangnya sambil menunjuk kolong mejanya.

Aku merangkak ke kolong mejanya. Aku sudah tak sanggup berpikir waras. Tak peduli dengan segala kegilaan yang sedang terjadi. Tak peduli dengan etika, dengan norma-norma bercinta, dengan sakral dalam percintaan. Aku hanya peduli dengan kedua belah paha mulus yang akan menjepit leherku, jari-jari tangan lentik yang akan menjambak rambutku, telapak tangan yang akan menekan bab belakang kepalaku, aroma semerbak yang akan menerobos hidung dan memenuhi rongga dadaku, kelembutan dan kehangatan dua buah bibir kewanitaan yang menjepit lidahku, dan tetes-tetes birahi dari bibir kewanitaan yang harus kujilat berulang kali biar kesannya dihadiahi segumpal lendir orgasme yang sudah sangat ingin kucicipi.

Di kolong meja, Mbak Lia membuka kedua belah pahanya lebar-lebar. Aku mengulurkan tangan untuk meraba celah berair di antara pahanya. Tapi ia menepis tanganku.

“Hanya lidah, Jhony! OK?”

Aku mengangguk. Dan dengan cepat membenamkan wajahku di G-string yang menutupi pangkal pahanya. Menggosok-gosokkan hidungku sambil menghirup aroma pandan itu sedalam-dalamnya. Mbak Lia terkejut sejenak, kemudian ia tertawa manja sambil mengusap-usap rambutku.

“Rupanya kamu sudah tidak sabar ya, Jhony?” katanya sambil melingkarkan pahanya di leherku.

“Hm..!”

“Haus?”

“Hm!”

“Jawab, Jhony!” katanya sambil menyelipkan tangannya untuk mengangkat daguku. Aku menengadah.

“Haus!” jawabku singkat.

Tangan Mbak Lia bergerak melepaskan tali G-string yang terikat di kiri dan kanan pinggulnya. Aku terpana menatap keindahan dua buah bibir berwarna merah yang berair mengkilap. Sepasang bibir yang di bab atasnya dihiasi tonjolan daging pembungkus clit yang berwarna pink. Aku termangu menatap keindahan yang terpampang persis di depan mataku.

“Jangan diam saja. Jhony!” kata Mbak Lia sambil menekan bab belakang kepalaku.

“Hirup aromanya!” sambungnya sambil menekan kepalaku sehingga hidungku terselip di antara bibir kewanitaannya.

Pahanya menjepit leherku sehingga saya tak sanggup bergerak. Bibirku terjepit dan tertekan di antara dubur dan bab bawah vaginanya. Karena harus bernafas, saya tak memiliki pilihan kecuali menghirup udara dari celah bibir kewanitaannya. Hanya sedikit udara yang sanggup kuhirup, sesak tetapi menyenangkan. Aku menghunjamkan hidungku lebih dalam lagi. Mbak Lia terpekik. Pinggulnya diangkat dan digosok-gosokkannya dengan liar hingga hidungku berair berlumuran tetes-tetes birahi yang mulai mengalir dari sumbernya. Aku mendengus. Mbak Lia menggelinjang dan kembali mengangkat pinggulnya. Kuhirup aroma kewanitaannya dalam-dalam, seolah vaginanya yaitu nafas kehidupanku.

“Fantastis!” kata Mbak Lia sambil mendorong kepalaku dengan lembut. Aku menengadah. Ia tersenyum menatap hidungku yang telah licin dan basah.

“Enak kan?” sambungnya sambil membelai ujung hidungku.

“Segar!” Mbak Lia tertawa kecil.

“Kau cerdik memanjakanku, Jhony. Sekarang, kecup, jilat, dan hisap sepuas-puasmu. Tunjukkan bahwa kamu memuja ini,” katanya sambil menyibakkan rambut-rambut ikal yang sebagian menutupi bibir kewanitaannya.

“Jilat dan hisap dengan rakus. Tunjukkan bahwa kamu memujanya. Tunjukkan rasa hausmu! Jangan ada setetes pun yang tersisa! Tunjukkan dengan rakus seolah ini yaitu kesempatan pertama dan yang terakhir bagimu!”

Aku terpengaruh dengan kata-katanya. Aku tak peduli walaupun ada nada perintah di setiap kalimat yang diucapkannya. Aku memang merasa sangat lapar dan haus untuk mereguk kelembutan dan kehangatan vaginanya. Kerongkonganku terasa panas dan kering. Aku merasa benar-benar haus dan ingin segera mendapatkan segumpal lendir yang akan dihadiahkannya untuk membasahi kerongkongannku. Lalu bibir kewanitaannya kukulum dan kuhisap biar semua kebasahan yang menempel di situ mengalir ke kerongkonganku. Kedua bibir kewanitaannya kuhisap-hisap bergantian.

Kepala Mbak Lia terkulai di sandaran kursinya. Kaki kanannya melingkar menjepit leherku. Telapak kaki kirinya menginjak bahuku. Pinggulnya terangkat dan terhempas di dingklik berulang kali. Sesekali pinggul itu berputar mengejar lidahku yang bergerak liar di dinding kewanitaannya. Ia merintih setiap kali lidahku menjilat clitnya. Nafasnya mengebu. Kadang-kadang ia memekik sambil menjambak rambutku.

“Ooh, ooh, Jhony! Jhony!” Dan ketika clitnya kujepit di antara bibirku, kemudian kuhisap dan permainkan dengan ujung lidahku, Mbak Lia merintih menyebut-nyebut namaku..
Cerita Dewasa – Nikmatnya Cairan Cinta Kepala Accounting Kantorku
“Jhony, nikmat sekali sayang.. Jhony! Ooh.. Jhony!”

Ia menjadi liar. Telapak kakinya menghentak-hentak di pundak dan kepalaku. Paha kanannya sudah tidak melilit leherku. Kaki itu kini diangkat dan tertekuk di kursinya. Mengangkang. Telapaknya menginjak kursi. Sebagai gantinya, kedua tangan Mbak Lia menjambak rambutku. Menekan dan menggerak-gerakkan kepalaku sekehendak hatinya.

“Jhony, julurkan lidahmuu! Hisap! Hisaap!”

Aku menjulurkan pengecap sedalam-dalamnya. Membenamkan wajahku di vaginanya. Dan mulai kurasakan kedutan-kedutan di bibir vaginanya, kedutan yang menghisap lidahku, mengundang biar masuk lebih dalam. Beberapa detik kemudian, lendir mulai terasa di ujung lidahku. Kuhisap seluruh vaginanya. Aku tak ingin ada setetes pun yang terbuang. Inilah hadiah yang kutunggu-tunggu. Hadiah yang sanggup menyejukkan kerongkonganku yang kering. Kedua bibirku kubenamkan sedalam-dalamnya biar sanggup pribadi menghisap dari bibir vaginanya yang mungil.

“Jhony! Hisap Jhony!”

Aku tak tahu apakah rintihan Mbak Lia sanggup terdengar dari luar ruang kerjanya. Seandainya rintihan itu terdengar pun, saya tak peduli. Aku hanya peduli dengan lendir yang sanggup kuhisap dan kutelan. Lendir yang hanya segumpal kecil, hangat, kecut, yang mengalir membasahi kerongkonganku. Lendir yang pribadi ditumpahkan dari vagina Mbak Lia, dari pinggul yang terangkat biar lidahku terhunjam dalam.

“Oh, fantastis,” gumam Mbak Lia sambil menghenyakkan kembali pinggulnya ke atas kursinya.

Ia menunduk dan mengusap-usap kedua belah pipiku. Tak usang kemudian, jari tangannya menengadahkan daguku. Sejenak saya berhenti menjilat-jilat sisa-sisa cairan di permukaan kewanitaannya.

“Aku puas sekali, Jhony,” katanya. Kami saling menatap. Matanya berbinar-binar sayu. Ada kelembutan yang memancar dari bola matanya yang menatap sendu.

“Jhony.”

“Hm..”

“Tatap mataku, Jhony.” Aku menatap bola matanya.

“Jilat cairan yang tersisa hingga bersih”

“Hm..” jawabku sambil mulai menjilati vaginanya.

“Jangan menunduk, Jhony. Jilat sambil menatap mataku. Aku ingin melihat erotisme di bola matamu ketika menjilat-jilat vaginaku.”

Aku menengadah untuk menatap matanya. Sambil melingkarkan kedua lenganku di pinggulnya, saya mulai menjilat dan menghisap kembali cairan lendir yang tersisa di lipatan-lipatan bibir kewanitaannya.

“Kau memujaku, Jhony?”

“Ya, saya memuja betismu, pahamu, dan di atas segalanya, yang ini.., muuah!” jawabku sambil mencium kewanitaannya dengan mesra sepenuh hati.

Mbak Lia tersenyum manja sambil mengusap-usap rambutku,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Related posts