PUJI Bersamamu Di Jakarta

Ini cerita fiksi yg diangkat dari kisah nyata. Puji, tokoh cerita ini, bukanlah nama sebenarnya. Kalaupun ada yg mirip, ya kebetulan aja.

_
PELUKAN hangat Puji mendarat di pinggangku. Nyaman rasanya. Kami lagi tiduran berdua di kasur palembang yang empuk didobel-tiga. Abis ML. “Oh iya. Terima kasih ya Ka, sdh boleh nginep disini.”

“Yes, Sayang. Kamu beneran udah ngomong ke Mama dan Ayah kamu?”
“Iya. Aku bilang, nginep di rumah teman. Mana kepikiran mereka berdua kalau aku bakal kesini. Ya kan?”
“Dasar kamu ya. Ha ha ha. Yuk ke mesjid, shalat Subuh!”
“Ayuk!”

Aku abis bergumul dari jam 4 tadi. Entah apa karena pengaruh kopi pahit itu ya. Yang jelas dini hari tersebut aku bener-bener horni liat Puji. Kami abis tahajud dan ngaji bareng. Usai ngaji, entah setan mana yang membisiki kami, tau-tau kami sudah langsung berpelukan, ciuman, saling raba, saling usap, saling isap, hingga saling melucuti pakaian kami masing-masing hingga bugil. Dan, begitulah yang terjadi. Kami seperti meluapkan rasa rindu yang telah kami tahan selama ini.

Tubuh Puji sudah aku jilati seluruhnya, dari ujung jari kaki sampai kepala. Titian demi titian melewati dari pergelangan kaki, tumit, betis, lutut, paha lalu ke pangkalnya, lanjut ke vaginanya yang merah merekah, dilanjut dengan jilatan di klitoris dan sekitarnya, belum lagi pantatnya yang montok aduhai, laju keatas dengan jilatan di pusar, menjalar ke pinggang dan punggungnya, sapuan lidah yang tidak berhenti dan melanjut hingga ke leher, lalu turun ke dadanya, ke payudaranya yang berukuran sekepal tanganku. Ah, entah kenikmatan seks macam apalagi yang telah aku reguk jelang subuh itu.

Sementara itu Puji demikian menghayatinya. Matanya terpejam, sesekali mendelik, bibirnya mangap. Nafasnya terengah-engah. Kepalanya mendongak, badannya melengkung, kebawah bantal. Limabelas menit berlalu.

“Masukkan, Ka!” bisik Puji, nahan birahi.

Kontolku yang sedari tadi tegang semakin berdenyut-denyut. Ujungnya sudah mengeluarkan lelehan cairan bening yang kental. Puji menuntun kontolku ke arah vaginanya.

“Ga mau dikulum, De?”
“Kegedean!” jawabnya sambil merem-melek, dengan nafas yang ngos-ngosan. Birahinya sudah diubun-ubun. Begitupun dengan aku. Udah ga bisa mikir waras lagi.

ilustrasi

Sleb! “Aaahhh!” Kontolku belum masuk setengahnya. Puji masih perawan ternyata. “Pelan-pelan Ka.” Dan ada sekitar 10 menit baru bisa masuk tiga-per-empat setelah pelan-pelan dimaju-mundurkan, sesenti demi sesenti. Baik memek Puji maupun kontol aku, kami berdua sudah becek.

Blesh! Poll sudah memek Puji aku masuki. Puji masih menahan perih dan sakit. Dia merem-melek sambil memelukku keras-keras–“Uuggghhhh! Haaahhh!”

_
SEMINGGU yang lalu, Puji ngirim text via Line. Khas anak jaman now banget. Pernah belakangan hari kuWA, engga dibalas, keterima dan kebaca pun tidak samasekali. DiSMS, apalagi. Begitu diLine baru deh ada balasan. Medsosnya yg lain, selain Line, ya IG saja. Jadi, konektivitas kami, ya kalau engga IG, pake Line.

Nah, muka Puji itu mirip artis-aktor Zendaya, pemeran pendamping Spiderman. Hanya rambut Puji tidak sekeriting Zendaya, hidungnya pun tidak sebangir Zen.

Isi teks Puji kepadaku selalu tidak bisa untuk tidak dibalas. Puji ngeteks gini: Ka. Aku seminggu lg mo ke Jkt. Mo numpang nginep.

Balasanku: O iya. Silahkan. Jm brp brngkt?
Puji: Abis Subuh.
Aku: OK.

Puji ini mau ikut tes ujian masuk STAN. Mau jadi akuntan dia. Dia tertarik sekali.

So, seminggu setelah dia ngeteks aku, langsung buru2 beberes kamar. Waktu seminggu bakal tak terasa. Selama seminggu itu pula, aku menghias rumah kecil milik orangtuaku ini sebaik-baiknya. Tiga kamar dipercantik supaya senyaman mungkin. Halaman rumah, kalau perlu, kerjabakti 1-2 hari. Hingga tiba ketika Puji datang nanti, dia bisa secomfort mungkin nginep, kalau perlu selama mungkin dia bisa tinggal bersamaku.

Pas hari-H, aku menghitung-hitung lagi. Kulkas udah bersih dan isinya sudah dilengkapi. Dapur, nyatu dengan toiletdi kamar belakang, meski kecil banget, udah bersih dan wangi, perangkat2 mandi udah pada lengkap didalam. Kamar tengah juga udah rapih, lemari pakaian plastik udah kubeli satu lagi, buat tambahan siapa tau Puji bawaannya banyak.  filmbokepjepang.com Kasur sudah kutambah satu lagi. Jadi, rencananya, aku bakal tidur di kamar depan saja, gelar kasur. Tempat lemari untuk sandal dan sepatu juga sdh diganti sama ukuran yang lebih besar. Pembersih udara sudah diganti filternya, refill pengharum ruangan udah diisi ulang, AC juga udah diservis tiga hari yang lalu.

Ting! Notifikasi di Line. Puji sdh di Kebayoran. Dia ngeteks bakal naik gojek. So, aku kirimlah lokasi patokannya. Dan aku bakal nunggu dia disitu.

Aku dengan santai keluar dari rumah, jalan menuju ujung gang yang ada minimarket dimana Puji akan tiba disana. Dan benar, sekitar 5 menit dia datang.

“My Godness, cuma bawa ransel aja kamu, De?
“Iya Ka. Simpel aja kok!”

Puji datang dengan muka yang amat lusuh. Jarak tempuh stasiun Bogor-Kebayoran Lama cuma sekitar empat jam. Gayanya yang sportif bener-bener aku suka. Outfitnya cuma sweater-hoodie kotak-kotak, celana blue jins ketat, sneaker, topi bisbol m-l-b, mulutnya dibalut buff-masker. Yang bikin aku geli adalah Puji suka sama yang berbau K-Pop dan DraKor.

“Muat tuh laptop di satu tas gitu, De?”
“Biasalah! He he.”
“Ayuk ke rumah!”

Aku langsung menggamit tangan kanannya, lalu memeluknya seraya berbisik, “Selamat datang di Jakarta!”
_
HUBUNGSN asmaraku sama Puji terbilang ganjil. Kami terpaut beda usia yang sangat mencolok, duapuluhempat tahun. Dia memanggil kakak kepadaku. Dia adalah keponakan-kedua dari pihak mamaku. Neneknya Puji adalah sepupu dari mamaku. Ya, kami sekampung dari sebuah desa kecil di sekitar kaki Gunung Salak, daerah Bogor.

Kami saling tertarik secara seksual ketika Puji masih beliau berumur 10 tahun. Umur 10 tahun pada diri Puji adalah umur dimana dia sudah mendapatkan menstruasinya yang pertama. Kedekatan Puji dan aku begitu alami. Sejak dia SD, aku sudah sering mengajari dia pelajaran-pelajaran sekolahnya, juga belajar mengkaji kitab suci. Kecerdasannya membuat dia cepat dewasa. Seiring kedewasaanya, kematangan seksualnya semakin terlihat di usianya pada umur 9 tahun. Dia mulai menjaga jarak untuk bertemu. Ketemuannya kalau lagi ada PR atau ingin ngaji setelah maghrib atau jika ada pertanyaan-pertanyaan tentang pelajaran sekolah yang tidak dia mengerti sama sekali. Saat interaksi pun dia lebih sering merundukkan pandangan matanya daripada menatap langsung kepadaku. Sebelum-sebelumnya, dia tidak canggung untuk memeluk dan minta gendong. Tapi saat itu, dia seperti berubah. Dan aku semakin sadar. Kedekatan kami ini, kalau diteruskan bakal tidak wajar lagi di pandangan masyarakat kampung. Potensinya bakal bisa mengundang aib. Bisa-bisa aku dicap pedofil.

Memang kalau dilihat-lihat, saat itu Puji punya bakat-bakat cantik. Diusianya yang 9 tahun, payudaranya sudah mulai terlihat menyembul sedikit. Dia tidak berjilbab kayak teman-teman sebayanya. Sehingga, kematangan seksual dari bentuk dan lekukan tubuhnya bisa terbaca jelas dari penglihatanku. Meskipun, setiap hari dia tidak mengenakan pakaian kaos oblong ataupun pakaian-pakaian ketat. Hari demi hari, kedekatanku dengan Puji semakin berubah menjadi sebuah pemahaman bahwa aku kini tertarik pada Puji secara seksual.

Di waktu umur 33 tahun seperti itu, aku memang masih melajang. Belum terpikir untuk mau menikah. Pacaran saja aku enggan mencoba. Secara ekonomi, aku terbilang cukup mapan. Bisnis warkop, warung rokok, dan angkringan aku di Jakarta lancar. Secara, itu semua adalah warisan dari bapak dan ibu aku yang beberapa tahun lalu mereka pensiun dan kini tinggal di kampung ini. Aku pergi ke Jakarta sesekali, bisa sampai dua atau tiga hari sekadar untuk ngontrol warung-warung disana dan malah lebih sering berkomunikasi via handphone.

Para perempuan di kampungku ini bukannya tidak ada stok. Ada banyak. Tapi mereka semua pada merantau. Kalaupun ada, ya itu semua sudah pada menikah. Dan begitu mereka umur 17 atau 18, otomatis mereka pada merantau. Ada yang mencari nafkah, ada yang belajar lagi.

Temen-temen kuliahku ada juga yang bilang, “Jangan-jangan Lo gay ya?” dan yang nanyain kapan nikah atau udah punya pacar atau calon apa belum, jangan ditanya. Banyak banget.

Sementara itu, ini bikin serem aku, di kampung-kampung sebelah sudah ada cerita bagaimana seorang laki-laki guru ngaji telah dipenjara gara mencabuli murid-muridnya yang dibawah umur, bagaimana seorang ibu berprofesi guru SMA terlibat skandal seks dengan seorang murid laki-lakinya, bahkan ada juga seorang bapak-bapak yang menghamili seorang perempuan yangmana perempuan tersebut adalah teman satu sekolah dari anaknya yang masih SD kelas enam, belum lagi beberapa tahun kebelakang ada sepasang cowok-cewek SMP kelas delapan yang ketangkap basah sore-sore lagi ML di gubuk dekat kebun yang akhirnya mereka terpaksa dinikahsirikan oleh penghulu dari KUA setempat.

Padahal, rasa ketertarikanku pada Puji adalah bener-bener tulus. Entah ini fantasi atau orientasi seksualku ya. Tapi diluar itu, aku kok bener-bener merasa bahwa jodohku adalah Puji. Dan omong-omong ‘jodoh’, berbagai usaha dari pihak keluarga besar sudah ditempuh.

Kembali ke Puji. Pada suatu malam menjelang shalat Isya, aku asyik ngobrol sama Puji. Enggak lama sih ngobrolnya, dan pada akhirnya, aku bilang begini ke Puji, “De. Kamu sekarang sudah mau besar. Emang sih, kamu kliatan lebih dewasa dibandingin temen-temen kamu yang lain. Sekarang ini kedewasaan kamu jauh lebih matang.”

Aku ngomong seperti itu dan kulihat Puji kayak engga ngerti. Dia manggut-manggut, mungkin berusaha untuk mencerna apa yang barusan aku katakan.

“De.”
“Ya Ka?”
“Bolehkah aku peluk kamu?”

Puji kaget. Matanya melebar. Bibirnya entah mau ngomong apa. Tapi, yang terjadi adalah, dia langsung memeluk aku. Sambil bilang, “Ka. Aku sayang Kaka. Aku engga mau kehilangan Kaka.”

“Aku juga sayang kamu.” Kami berpelukan. Sambil kukecup keningnya. Nyaman rasanya. Tapi lama-lama aku deg-degan. Dan aku bisa merasakan debar yang sama pada dada Puji. Aku bisa merasakan ganjalan kecil dari himpitan payudara Puji yang baru numbuh. Tapi, hasrat seksual ini begitu damai, tidak menggelora kayak di cerita-cerita porno daun muda.

Selama delapan tahun kami membina cinta-kasih ini rapat-rapat. Tanpa diketahui keluarga besar kami maupun umumnya masyarakat. Selama delapan tahun Puji menyibukkan diri dengan studinya, asyik dengan waktu-waktu bermain di rumah maupun di luar bersama teman-teman satu sekolah serta sekampungnya. Puji pandai menyembunyikan rahasia.

Kencan-kencan kecil kadang kami lewati dengan pertemuan singkat di angkot saat Puji berangkat sekolah. Kadang-kadang, dia aku boncengi motor menuju atau pulang sekolah, atau sesekali ke pasar. Kejutan-kejutan kecil ketika dia berulangtahun, kerap aku sempatkan.

Karena dasarnya masih anak-anak, jiwa Puji masih teramat polos. Namun, kehidupan pribadi keluarganya yang prihatin dan amat sederhana telah membentuknya menjadi anak yang mandiri. Ayah dan mamanya yang penyayang dan baik hati menjadikan Puji sebagai anak yang berkembang pintar dan tidak materialistik. Hari-hari yang indah dia lewati dengan penuh keceriaan dan semangat hidup.

ilustrasi (toped)

Diulangtahunnya yang ketujuhbelas, kejutan kecil juga, kusematkan cicin emas putih di lingkar jari manis kanannya. Ya cincin couple-an gitu deh. Sebagai tanda ikat dan janji tulus bahwa kami berkomitmen untuk serius pacaran hingga nikah nanti. Cincinnya memang tidak dia pakai saat hari itu. Dia simpan baik-baik dan suatu hari dia akan pakai pada saatnya tiba.,,,,,,,,,,,,,,,,

Waktu selama itu begitu cepat berlalu. Hingga dia lulus SMK, berbekal beasiswa dariku, dia berkeputusan untuk melanjutkan studinya untuk berkuliah di STAN.[]

TAMAT

Related posts